ABSTRAK
Migrasi internasional kini
semakin menjadi permasalahan yang menyita perhatian banyak pihak. Transisi pada
ilmu pengetahuan berbasis ekonomi menciptakan lebih banyak pangsa pasar yang
terintegrasi bagi mereka yang mempunyai bakat dan keahlian yang tinggi. Bakat
dan keahlian tersebut menjadi aset yang sangat berharga dalam percaturan ekonomi
dunia. Akibatnya, gelombang brain drain dari negara-negara berkembang semakin
menguat. Munculnya diaspora yang sangat luas adalah sebuah konsekuensi dari
perburuan terhadap kesempatan terbaik bagi negara berkembang.
Paper ini berusaha
mengidentifikasi fenomena brain drain yang umumnya terjadi
pada negara-negara berkembang. Secara khusus, paper ini akan menguraikan
problematika dan tantangan negara berkembang dalam pengembangan SDM dan
sarana/fasilitas terkait dengan ilmu pengetahuan dan teknologi yang disebabkan
oleh brain drain. Pada akhir tulisan, penulis menyuguhkan pola
pengembangan SDM dan pengadaan sarana/fasilitas guna mencegah dan mengatasi
timbulnya efek negatif dari brain drain dengan melakukan
studi analisa terhadap keberhasilan India dalam mewujudkan reversed
brain drain. Sehingga diharapkan dengan terjadinya reversed brain drain,
maka pembangunan ekonomi negara berkembang dapat berjalan lancar.
Kata Kunci: Brain drain, Sumber Daya Manusia, Pengembangan Fasilitas, Keberhasilan India.
Kata Kunci: Brain drain, Sumber Daya Manusia, Pengembangan Fasilitas, Keberhasilan India.
1. Pendahuluan
Sejarah melukiskan bahwa pasca
meletusnya Perang Dunia II telah meyebabkan para tenaga ahli dan terdidik dari
berbagai belahan dunia, terutama Eropa, bermigrasi dari satu negara ke negara
lainnya. Kemenangan yang diperoleh oleh negara-negara Sekutu membawa para
imigran ahli untuk menjadikan negara tersebut sebagai pelabuhan ilmu. Berkisar
pada tahun 1960-an dan awal tahun 1970-an, bermigrasinya para tenaga ahli dari
negara berkembang seperti ke negara maju semakin meningkat. Hal ini terjadi
terutama ke negara-negara yang memberikan banyak keunggulan dan kesempatan (land
of opportunity).
Dan akhir-akhir ini
semakin banyak profesional (orang-orang berpendidikan tinggi, berbakat dan
terlatih) terbaik negara-negara berkembang hijrah atau meninggalkan negaranya
yang miskin ke negara-negara maju (negara-negara industri) seperti Amerika
Serikat, Inggris, Kanada, dan Australia. Mereka itu adalah para ilmuwan,
informatisi (ahli ICT), arsitek, insinyur, akademi, dokter, dan para ahli
lainnya. Peristiwa ini lebih dikenal dengan istilah brain drain. Dimana peristiwa Brain drain ini merupakan
kerugian besar bagi negara yang ditinggalkan.
Brain drain ini hampir sama
dengan peristiwa aglomerasi. Aglomerasi adalah keadaan dimana penduduk di suatu
negara terpusat di daerah perkotaan, terutama penduduk-penduduk yang
berkualitas. Tujuan mereka pindah ke kota adalah karena prospek ekonomi yang
menjanjikan. Sama seperti brain drain ini, dimana orang-orang yang pandai akan
pindah ke negara maju, dengan tujuan yang salah satunya sama dengan aglomerasi
tadi. Sehingga banyak orang-orang pandai terpusat di negara-negara maju.
Perbedaanya hanya kalau aglomerasi terjadi hanya di suatu negara, yaitu antar
daerah saja. Sedangkan brain drain terjadi di seluruh dunia yang meliputi
banyak negara, yaitu baik negara maju maupun negara berkembang.
Dari hasil penelitian yang
dilakukan oleh UNCTAD, dapat diketahui bahwa dokter, informatisi (ahli ICT),
insinyur serta ahli-ahli liannya dari negara-negara miskin setiap tahun terus
mengalir ke negara-negara makmur dan maju. Riset ini dilakukan setiap tahun
yaitu di 50 negara kurang maju, antara lain 8 negara Asia, 33 negara Afrika, 8
kepulauan dan Haiti. Terlihat bahwa brain drain alias human capital flight dari
negara-negara di kawasan itu terus meningkat. Pada 1990 jumlahnya mencapai
16,5%. Dan sekarang jumlah itu meningkat menjadi 21,4%. Jumlah brain drain
tertinggi berasal dari Haiti. Negeri itu kehilangan 80% sumber daya manusia
berpendidikan tinggi dan terampil.
Di Indonesia, walaupun hingga
saat ini belum terdapat data empiris, namun diperkirakan telah mencapai 5%.
Jumlah ini dapat kita katakan cukup signifikan di tengah terpuruknya SDM
Indonesia yang disertai dengan kecilnya alokasi anggaran pendidikan yang hanya
menyisihkan 11,8% dari APBN. Kondisi ini diperparah dengan alokasi anggaran
riset dan teknologi yang tidak pernah mencapai angka minimal 1% dari produk
domestik bruto. Padahal, menurut analisa UNDP, angka minimum tersebut merupakan
anggaran minimum untuk terciptanya kemakmuran suatu bangsa.
Sedangkan menurut Aaron Chaze
(2007), yang melakukan penelitian di 61 negara berkembang, dimana sebagian
besar para braindrainer memilih bermigrasi ke negara-negara Organization for
Economic Cooperation and Development (OECD), terutama Amerika Serikat, Kanada,
Inggris, Perancis, dan Jerman. Saat ini terdapat sebanyak 50.000 (5%) dokter
India yang bekerja di negeri Paman Sam serta ratusan ribu manajer, teknisi, dan
ahli komputer bekerja di Microsoft, McKinsey & Company, Citigroup, dan
berbagai firma teknologi informasi di kota-kota metropolitan Amerika.
UNDP memperkirakan, India
kehilangan sekitar dua miliar dollar AS per tahun akibat migrasi teknisi dan
ahli komputer, yang diproyeksikan mencapai 2,2 juta orang sampai akhir tahun
2008 nanti. Beruntung, Indonesia termasuk yang paling rendah, yakni kurang dari
5% dari golongan terdidik yang bermigrasi ke negara-negara maju.
Dari kawasan Afrika, aliran
migrasi paling banyak dari Ghana, Kenya, Afrika Selatan, Zimbabwe, Somalia,
Nigeria, dan Etiopia, yang sekitar 60% juga berpendidikan tinggi. Bahkan sejak
20 tahun terakhir, Etiopia kehilangan sekitar 75 persen tenaga-tenaga ahli,
seperti dosen, insinyur, dan dokter akibat brain drain.
Sungguh ironis,
lebih mudah menjumpai dokter asal Etiopia di Chicago ketimbang di Addis Ababa,
bahkan sekitar 21.000 dokter asal Nigeria berpraktik di seluruh penjuru
Amerika. Lebih menyedihkan lagi, Afrika harus mengeluarkan dana lebih dari
empat miliar dollar AS per tahun untuk membayar sekitar 150.000 expatriate
profesional yang bekerja di benua miskin itu.
Adapun imigran dari Afrika Utara
dan Timur Tengah yang paling banyak berasal dari Maroko (satu juta), Aljazair
dan Iran (masing-masing 500.000), serta Mesir, Sudan, Tunisia, Irak, Suriah,
Lebanon, Jordania (masing-masing 250.000). Sekali lagi, amat memilukan
mengingat mayoritas para imigran itu adalah anak-anak muda terpelajar lulusan
universitas.
2.
Faktor-Faktor Yang Menyebabkan Terjadinya Brain Drain
Faktor penyebab
terjadinya brain drain ini seringkali dilihat dari model bipolar yaitu faktor
penarik dan faktor pendorong. Faktor penarik yaitu faktor yang datang dari
negeri tujuan, yaitu:
1.
untuk memperoleh prospek ekonomi dan kehidupan yang lebih baik,
yaitu gaji yang lebih tinggi, kondisi kerja dan hidup yang lebih baik, dan perspektif
karir yang terjamin.
2.
fasilitas yang ditawarkan juga sangat kompetitif, seperti
fasilitas pendidikan, penelitian, dan teknologi yang lebih memadai, kesempatan
memperoleh pengalaman bekerja yang luas.
3.
tradisi keilmuan dan budaya yang tinggi.
4.
agen di luar negeri yang sering memberikan informasi yang sangat
bagus, dan lain sebagainya.
Sedangkan faktor
pendorong yaitu faktor yang datang dari negeri asal, yaitu:
1.
kebebasan, serta merasa tak aman akibat perang dan pergolakan
politik domestik yang tak kunjung berakhir.
2.
tidak adanya penghargaan dari pemerintah, dan lain sebagainya.
3.
Faktor penyebab ‘penarik-pendorong’ ini terkadang juga dapat
dibedakan menjadi faktor penyebab obyektif-subyektif. Penyebab secara obyektif
adalah faktor-faktor yang berhubungan dengan kebijakan yang diberikan oleh
negara asal maupun tujuan dan terkait erat dengan biasanya orang-orang pintar
ini tidak mau tinggal di negaranya yang masih terbelakang, karena takut tidak
bisa mengembangkan ilmu dan keahliannya.
4.
dikarenakan rendahnya pendapatan dan fasilitas penelitian.
5.
keinginan untuk memperoleh kualifikasi dan pengakuan yang lebih
tinggi.
6.
ekspektasi karir yang lebih baik, kondisi politik yang tidak
menentu.
7.
adanya diskriminasi dalam hal penentuan jabatan dan promosi.
8.
khusus para dokter yang berasal dari Afrika umumnya ada motivasi
lain, yakni menghindari risiko tinggi kemungkinan tertular HIV.
9.
ilmu atau pengetahuan dan keterampilan yang dimiliki dan
dikuasai ternyata tidak berguna di negara asal, sehingga tidak ada pilihan yang
lebih baik selain meninggalkan negaranya.
10.
dipengaruhi faktor non ekonomi, misalnya seperti agama dan ras.
tidak adanya
kenyamanan dalam bekerja dan memperoleh kebebasan, mereka mengalami tekanan
politik, menghindari rezim represif yang mengekang karakteristik negara
tersebut, seperti misalnya lemahnya kebijakan terhadap tradisi keilmuan.
Sedangkan penyebab secara subyektif biasanya terbatas pada motif-motif personal dari yang
bersangkutan.
3.
Dampak Peristiwa Brain Drain Bagi Negara Berkembang (Negara Asal)
Kalau kita mendengar kata brain
drain, pasti yang terpikir oleh kita adalah sebuah peristiwa yang hanya akan
mendatangkan kerugian bagi negara-negara bekembang. Dimana banyak orang-orang
pintar dan ahli meninggalkan negaranya itu, yang disebabkan oleh kelemahan-kelemahan
yang ada di negara tersebut. Memang telah kita ketahui bersama bahwa peristiwa
brain drain ini membawa efek negatif yang sangat besar, terutama bagi negara
asal. Namun, ternyata ada juga efek positif yang dihasilkan oleh peristiwa
brain drain ini walaupun tidak sebesar efek negatif yang dihasilkan.
1.
Dampak negatif yang timbul :
- brain
drain akan memperlemah struktur ketenagakerjaan, dimana hal ini merupakan
faktor utama penghambat industri untuk maju. Sehingga pembangunan ekonomi
negeri asal pun tidak berkembang.
- masalah
dari brain drain ini seperti lingkaran setan yang mempertahankan
keterbelakangan. Dimana banyak sekali negara yang kekurangan tenaga ahli,
namun setelah ada tenaga yang terdidik, mereka malah pergi ke negara lain
dengan berbagai alasan.
- semakin
lebarnya jurang antara si miskin dan si kaya.
- brain
drain memboroskan bahkan menguras uang negara asal. Banyak sekali
orang-orang pintar yang dibiayai oleh negara untuk belajar ke luar negeri
agar menjadi lebih ahli. Namun setelah selesai masa pendidikannya, mereka
malah tidak mau kembali. Mereka diberi fasilitas oleh negara tetapi tidak
mau balas budi, mereka lebih mementingkan kepentingan dirinya sendiri dan
malah memberikan sumbangan keahliannya dalam mempertinggi pertumbuhan
ekonomi negara-negara yang sudah maju. Contohnya,
di Indonesia dalam 13 tahun belakangan, di UGM ada 50 orang dosen dan
peneliti mengundurkan diri. Universitas jelas rugi, karena mencetak satu
doktor saja butuh sekurang-kurangnya satu miliar rupiah. Padahal ada
seratusan cendekiawan yang hijrah ke manca dan terbanyak di Malaysia.
- brain
drain berarti kerugian besar pada modal sumber daya manusia. Apalagi
umumnya yang diterima di luar negeri merupakan sumberdaya berkualitas.
Sementara keuntungan dari brain drain berpendidikan tinggi bagi negara
yang ditinggalkan sangat terbatas. Walaupun menikmati gaji tinggi, mereka
umumnya minim sekali mengirim uang ke negeri asalnya dibandingkan emigran
berpendidikan rendah. Ikatan mereka dengan negeri asalnya juga mengendur,
karena secara umum mereka tinggal menetap (settled) di negeri baru
mereka.
- orang-orang
terbaik yang hijrah ke luar negeri pasti akan digantikan oleh para
ekspatriat (dengan kemampuan yang sama) yang umumnya minta bayaran
berkali lipat lebih mahal. Yang terjadi selanjutnya adalah proses
inefisiensi perekonomian dalam negeri.
- terjadinya
brain drain bagi negara asal tentunya membawa implikasi negatif yang
tidak sedikit, seperti kondisi di mana kurangnya tenaga terlatih dan
terdidik dari suatu negara, serta terjadinya ketidakseimbangan
pertumbuhan ekonomi yang sulit untuk diprediksi. Selain itu, brain drain
dapat juga membawa pengaruh rendahnya kesejahteraan terhadap lingkungan,
di mana para tenaga terdidik tersebut berasal.
2.
Dampak positif yang timbul:
Beberapa negara berkembang kini
telah mampu memanfaatkan kondisi brain drain menjadi reversed brain drain untuk
kemajuan negaranya, misalnya Cina dan India, dua “macan Asia” yang mempunyai
konsentrasi brain drain sangat tinggi. Brain drain juga memiliki beberapa
dampak positif yang dapat meningkat pertumbuhan ekonomi negara:
- Alternative
sumber investasi
- Penurunan
tingkat unemployment
- Optimalisasi
kapasitas produksi Negara
- Peningkatan
kualitas SDM
- Uptodate
perkembangan ilmu pengetahuan dan tekhnologi
- International
networking. Misalnya: beberapa hasil komoditas pertanian unggulan lokal
seringkali kalah bersaing dengan negara-negara lain. Produk seni dengan
nilai tinggi seperti kerajinan dan seni ukir pun belum bisa berjaya di
pangsa pasar negara lain. Padahal, tingkat kemakmuran ekonomi wilayah
sangat bergantung kepada pendapatan dari luar melalui sektor basis
(Tarigan, 2006), termasuk ekspor. Terhambatnya aliran informasi dari
negara terkait dengan pangsa pasar di luar negara adalah salah satu
penyebabnya. Sehingga salah satu upaya dalam memperbaiki kondisi ini
adalah dengan diperkuatnya jaringan networking pengusaha Indonesia yang
berada di luar negeri. Melalui jaringan ini, informasi aktif kepada
wilayah terkait mengenai a) pangsa pasar, b) unsur sosial-kebudayaan dan
c) aspek legal dalam pengembangan usaha di negera tersebut, dapat
membantu potensi sektor basis wilayah terkait untuk dapat memasarkan
produk-produknya secara optimal.
Kondisi reversed brain drain yang
terjadi sejak awal 1990-an tersebut, selain memacu produktivitas perekonomian
negara asal, diyakini juga telah meninggalkan buah manis berupa jaringan
keilmuan dan pemasaran yang kuat dan tersebar hampir di seluruh negara-negara
maju yang pernah mereka huni sebelumnya. Dengan kehadiran para braindrainer,
peningkatan produktivitas terbukti meledak-ledak, peluang bisnis baru terus
menyeruak, kepuasan kerja meningkat, demikian pula ilmu pengetahuan melaju
lebih cepat. Artinya, semakin banyak perusahaan atau negara bersaing
mendapatkan orang-orang bertalenta, semakin bagus peluang para jenius itu
mengaktualisasikan potensi mereka demi membangun dunia yang lebih berkualitas.
4. Belajar Dari
India Yang Telah Berhasil Menaklukan Masalah Brain Drain
Wabah brain drain telah menyerang
India selama lebih dari 30 tahun yang lalu. India secara rutin merupakan negara
pengekspor tenaga muda yang terampil ke negara-negara maju. Dimulai pada awal
tahun 1960-an, lulusan terbaik dari beberapa Indian Institute of Technology
(IITs) meninggalkan India dalam jumlah yang cukup besar untuk kemudian bekerja
pada Silicon Valley, Amerika Serikat. Tidak jauh berbeda, penduduk India juga
bermigrasi secara tradisional ke Inggris dan Kanada. Awal tahun 1970-an, jumlah
warga India yang bermigrasi ke Amerika memiliki besaran yang sama dengan mereka
yang bermigrasi ke Inggris dan Kanada. Namun pada awal tahun 1990, jumlah
penduduk India yang bermigrasi ke Amerika telah meningkat hampir dua kali lipat
dari mereka yang pergi ke kedua negara tersebut di atas. Saat ini, komunitas
India di Amerika, baik imigran maupun mereka yang terlahir di sana, merupakan
komunitas dengan proposi cukup besar sehingga dianggap mewakili populasi asal
Asia. Kini para profesional asal India tersebut telah menguasai sedikitnya
8.000 perusahaan di bidang komunikasi, informasi dan teknologi di kawasan
Silicon Valley dengan pemasukan sebesar US$ 4 miliar ditambah dengan penyediaan
lapangan kerja sebanyak 17.000 kursi.
Namun kini,
fenomena brain drain di India telah berangsur sirna dan berubah menjadi
reversed brain drain. Sejak akhir tahun 1990-an, para ilmuwan dan profesional
India yang telah menetap di luar negeri mulai kembali ke tanah airnya.
Kesempatan itu dilakukan pada masa cuti panjang ataupun di tengah masa
penelitiannya dengan cara mengajar di India dan berinteraksi secara langsung
dengan sesama peneliti di negara asal. Hal ini terjadi hampir di berbagai
bidang pegetahuan, khususnya IT, kedokteran, dan ekonomi. Saat ini, sedikitnya
terdapat sekitar seratus ribu warga negara India yang sebelumnya bekerja di
luar negeri telah kembali ke negaranya secara permanen, di mana 32.000 di
antaranya merupakan non-resident Indian (NRI) yang berasal dari Inggris.
Hasilnya, brain drain yang dirasakan merugikan India mulai menjelma menjadi
brain circulation yang membawa keuntungan secara mutual bagi India dan negara
tujuan. Dalam konteks ini, Bindo Khadria menyebutnya sebagai second-generation
effects of brain drain.
Terhadap kondisi tersebut di
atas, Pan Mohamad Faiz menganalisa adanya beberapa faktor yang menjadi penyebab
utama terciptanya pola reversed brain drain di India, yaitu: Pertama, terjadinya tansisi kebijakan
pemerintah India secara gradual dari pola kontrol ekonomi sosialis melalui
sebuah proses liberalisasi yang dimulai pada awal tahun 1990-an telah
menciptakan tidak hanya tersedianya berbagai lapangan kerja baru di bidang
manufaktur dan teknologi, tetapi juga meningkatnya reputasi berbagai lembaga
tinggi pendidikan di bidang IT dan manajemen. Di samping itu,
pengelolaan institusi-institusi swasta tidak lagi dipersulit oleh campur tangan
pemerintah yang selama ini dirasa cukup dominan.
Kedua, terjadinya reversed brain drain
di India disebabkan pula akibat melemahnya kondisi
perekonomian di Amerika Serikat sendiri. Kondisi tersebut menyebabkan banyaknya
perusahaan yang menutup aktivitasnya, termasuk memutuskan hubungan kerja dengan
para tenaga ahlinya. Guna mengatasi masalah ini, Amerika mulai
mengeluarkan kebijakan outsourcing dengan mencari tenaga-tenaga ahli yang lebih
murah namun mempunyai kemampuan yang tinggi, salah satunya dengan memanfaatkan
pengeluaran visa H-1B. Kesempatan inilah yang dimanfaatkan oleh para
profesional dan pebisnis asal India. Mereka berduyun-duyun kembali ke negaranya
sebagai fasilitator antara tenaga ahli yang berada di India dengan jaringan
pasar internasional. Booming besar berikutnya terjadi ketika India menciptakan
kota-kota IT yang diberi nama Indian Silicon Valley yang berpusat di Bangalore,
di mana perusahan-perusahaan sekelas Hawlett-Packard, IBM, dan Microsoft mulai
membuka laboratorium riset secara khusus di wilayah tersebut. Hasilnya yaitu
penciptaan kekuataan baru para pekerja transnasional di berbagai sektor
ekonomi, penguatan infrastruktur fisik dan sosial di Bangalore dan sekitarnya,
serta penempaan dan penguatan hubungan transnasional antara India dan Amerika
Serikat.
Ketiga, kesuksesan India menarik
kembali para ilmuwannya tidak terlepas dari jaringan diaspora yang selama ini
dapat terus mereka pertahankan, baik diaspora yang bersifat keilmuan maupun
diaspora yang bersifat komunitas kemasyarakatan. Beberapa diaspora keilmuan
utama yang mereka miliki misalnya, Silicon Valley Indian Professional
Association (SIPA), Worldwide Indian Network, The International Association of
Scientists and Engineers and Technologist of Bharatiya Origin, dan Interface
for Non Resident Indian Scientists and Technologist Programme (INRIST). Dari
sinilah mereka memperoleh sumber potensi yang sangat besar dalam menjalankan
kerjasama secara efektif dan menguntungkan kedua belah pihak antara negara
India sebagai negara berkembang dengan berbagai negara industri maju lainnya.
Keuntungan dari terjadinya
reversed brain drain tersebut, terhitung dalam lima belas tahun terakhir ini,
industri teknologi India mulai berkembang menjadi teknologi kualitas tinggi
dengan pertumbuhan dari US$ 150 juta menjadi US$ 3,9 miliar dalam hal
penjualan. India saat ini juga telah mengekspor produksi piranti lunak ke
hampir 100 negara di dunia, termasuk Amerika Serikat dan negara-negara di benua
Eropa. Meningkatnya ikatan rasa emosional dan budaya terhadap tanah kelahiran
India menjadi modal tambahan meluasnya kesempatan bagi para profesional India.
Begitu pula dengan kesempatan bekerja di dalam negeri yang tidak kalah bersaing
dengan perusahan-perusahaan terkenal lainnya di luar negeri. Sebagai contoh,
salah satu tamatan terbaik Indian Institute of Management (IIM) di Bangalore
memperoleh tawaran kerja dari Barclays Capital dengan gaji sekitar US$ 193.000
per tahun, atau lulusan Indian School of Business (SIB) di Hyderabad biasanya
memperoleh tawaran kerja dari perusahaan India dengan gaji rata-rata sekitar
US$ 200.000 per tahun. Belum lagi tawaran-tawaran dari perusahan besar seperti
Goldman Sachs, BNP Paribas, Merrill Lynch, Lehman Brothers, Deutsche Bank, J.P.
Morgan, McKinsey, Bain & Co. Boston Consulting Group, A.T. Kearney and
Diamond Cluster, serta sederet perusahaan berkelas lainnya.
Beberapa tahun terakhir ini,
India bukan saja mengalami reversed brain drain, akan tetapi kini mereka
diuntungkan dengan terciptanya brain gain dari negara-negara lainnya.
Meledaknya perekonomian India memicu sedikitnya puluhan tenaga ahli dari
negara-negara Eropa, seperti Swedia, Norwegia, Perancis, Jerman, Swiss dan
Inggris untuk berkerja pada industri teknologi di kawasan industri Okhla, New
Delhi, India. Lebih dari itu, survey yang dilakukan di Inggris pada tahun 2005
menyimpulkan bahwa para lulusan Inggris tengah mempersiapkan dirinya untuk
mengisi 16.000 lowongan pekerjaan pada Indian call-center di tahun 2009
mendatang. Bahkan dalam laporan tersebut disampaikan bahwa seorang lulusan
sarjana dari Skotlandia rela untuk melepaskan pekerjaannya dari Sky Television
dengan gaji £21.000 per tahun untuk kemudian bekerja pada Indian call-center.
Terjadinya reversed brain drain
di India tidak dapat dipisahkan dari peran dan keuntungan yang diperoleh dari
adanya diaspora India. Diaspora ini tersebar ke berbagai belahan dunia sebagai
silent networking. Sekitar 20 juta orang yang tergabung dalam komunitas elektik
ini tumbuh dan berkembang sebesar 10% setiap tahunnya, sehingga menempatkan
komunitas ini sebagai diaspora terbesar di dunia setelah Cina dan Inggris.
Setidaknya terdapat lebih puluhan ribu warga negara India yang menempati 48
negara di seluruh dunia. Meskipun mendiami negara dan bahasa yang berbeda-beda,
diaspora India mempunyai identitas yang sama dengan negara asalnya, yaitu suatu
kesadaran akan warisan kebudayaan dan ikatan emosional yang sangat kuat
terhadap garis keluarga dan negara asalnya. Dalam dua dekade terakhir, diaspora
India telah mengalami perubahan, yaitu dari para imigran biasa menjadi pemegang
peranan kunci pada posisi penting di bidang politik, lembaga universitas, dan
sektor industri. Mereka menempati pos-pos penting sebagai pemimpin terpilih,
politisi, profesor, dan status profesional lainnya. Beberapa contoh terbaiknya
yaitu Bharrat Jagdeo, Presiden Guayana yang beraliran sosialis; anggota Kongres
di Amerika Serikat; anggota parlemen di Kanada; serta penerima Nobel Ekonomi,
Amartya Sen.
Terhadap gambaran di atas, dalam
lingkup diaspora India, migrasi warga India kini tidak lagi menyebabkan
terjadinya brain drain melainkan justru menjadi elemen awal terciptanya brain
gain. Selain itu, anggota dari diaspora India yang tergabung dalam NRI dan PIO
juga telah memberikan kontribusi yang signifikan terhadap pertumbuhan dan
perkembangan di India. Diaspora India juga merupakan komunitas yang berharga
dalam memberikan kontribusi terhadap meningkatnya hubungan India-Amerika,
sehingga hal tersebut menghasilkan keuntungan ganda bagi negaranya. Dengan
terbuktinya keunggulan dari jaringan diaspora terhadap pertumbuhan dan
perkembangan negara India, fenomena mengenai brain drain dan migrasinya tenaga
ahli telah berubah menjadi mantra brain gain. Oleh karenanya, diaspora semacam
ini patut menjadi perhatian khusus bagi kita semua, terutama mengenai kuatnya
keterikatan mereka dengan keluarga dan negara asalnya. (Pan Mohamad
Faiz: KIPI 2007)
5. Kesimpulan
Tingginya laju arus tenaga ahli
dari negara berkembang ke negara-negara yang lebih maju (brain drain) menjadi
salah satu alasan yang menunjukkan lemah dan kurang tepatnya strategi kebijakan
dan pandangan dalam menumbuhkan khasanah ilmu pengetahuan dan teknologi secara
adil dan memadai serta kebijakan-kebijakan yang kurang mendukung para tenaga
ahli.
Dengan adanya dampak-dampak
negatif serta adanya faktor-faktor pendorong dan penarik dari peristiwa brain
drain di atas, maka perlu adanya usaha-usaha yang dilakukan negara-negara
berkembang untuk mengatasi permasalahan tersebut. Sehingga arus brain drain
diharapkan dapat ditekan seminimum mungkin. Banyak sekali cara-cara yang dapat
dilakukan untuk mengatasi masalah brain drain, di atas kita telah melihat
sebuah negara yaitu India yang telah mampu mengubah brain drain menjadi brain
gain. Selain hal-hal di atas yang diterapkan oleh India, masih banyak lagi
hal-hal yang bisa dilakukan oleh negara-negara berkembang agar arus brain drain
dapat diatasi. Sehingga negara asal tidak akan dirugikan terus.
Untuk itu, guna
memperoleh pergerakan asimetris arus dan distribusi tenaga ahli secara global,
negara-negara berkembang harus berani dan kreatif dalam mengimplentasikan
strategi yang didukung secara penuh oleh kebijakan dalam negeri. Cara-cara
ataupun usaha-usaha yang bisa dilakukan antara lain:
1.
upah/gaji
disamakan, tidak ada diskriminasi. Yaitu dengan membangun sistem remunerasi
yang fair. Contoh paling sederhana dan konkret, untuk posisi tertentu dengan
tugas dan tanggung jawab yang tertentu pula, tak perlu lagi dibeda-bedakan
antara gaji (profesional lokal) dengan gaji ekspatriat yang biasanya dibayar
jauh lebih mahal. Karena dengan sistem remunerasi yang baik, menurut berbagai
penelitian, juga terbukti mampu mendorong semangat kerja, memacu produktivitas,
serta melecut kreativitas karyawan di semua level organisasi.
2.
Sistem
pendidikan ditingkatkan. Yaitu dengan menyediakan kesempatan pendidikan
berkelas dunia (dari pendidikan dasar sampai perguruan tinggi harus mampu
bersaing dengan pendidikan negara-negara luar yang sudah maju), membangun
penelitian ilmu pengetahuan dan pengembangan industri. Selian itu, juga
mengimplentasikan rancang-bangun pendidikan yang dapat mendukung dan memelihara
pengembangan inti ilmu pengetahuan melalui program dalam negeri dan pelatihan
luar negeri yang lebih terarah dan terencana. Pemenuhan target program pendidikan
dasar bagi seluruh warga negara, investasi pada infrastruktur untuk penelitian,
pengembangan dan penciptaan kondisi yang dapat menunjang tumbuhnya sektor
publik maupun swasta dalam lingkup hasil penelitian, serta pengembangan
teknologi dan inovasi merupakan beberapa strategi yang dapat dilakukan dalam
kondisi sekarang ini. Oleh sebab itu, guna mewujudkan langkah-langkah strategis
di atas, kerjasama antara pemerintah dengan sektor swasta harus pula dijalankan
secara optimal. Beberapa negara besar telah berhasil menunjukkan bahwa diaspora
ilmu pengetahuan (scientific diaspora) dapat bekerja sangat efektif,
terutama untuk memanfaatkan efek negatif dari terciptanya arus brain drain.
Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, India dapat menjadi gambaran bagi
negara berkembang bahwa upaya dalam melakukan penelitian dalam negeri sangat
ditopang dan dibantu dengan adanya aktivitas jaringan sejagat (global
network) dari para peneliti yang tinggal di luar negeri. Oleh karena itu,
diaspora negara berkembang yang telah ada harus pula didukung agar mampu
melakukan transfer pengetahuan dan teknologi (knowledge and technology
transfer) secara bertahap.
3.
Kesiapan
pemerintah menampung mereka di segala bidang. Yaitu dengan menyiapkan sarana
dan prasarana serta fasilitas yang sangat dibutuhkan oleh para tenaga ahli.
Pemerintah harus menyediakan kesempatan kerja di segala bidang, sehingga ilmu
dan keterampilan yang mereka dapatkan bisa diimplementasikan di negaranya
sendiri dan tidak sia-sia. Sehingga mereka tidak akan berpikir untuk lari ke
luar negeri.
4.
Pemerintah
harus mengadakan perjanjian dengan para braindrainer. Misalnya di Singapura,
para braindrainer diwajibkan bekerja minimal 2 – 3 tahun di negara tujuan,
setelah itu mereka harus kembali ke negara asal untuk menerapkan ilmu dan
keterampilan yang telah diperoleh di negara tujuan. Di Kuba, adanya subsidi
belajar ke luar negeri bagi mereka yang pandai dan berminat, namun setelah
selesai/lulus mereka harus kembalidan mempraktekan ilmunya di dalam negeri. Dan
di indonesia, adanya denda pengembalian uang beasiswa jika dalam waktu yang
ditentukan mereka tidak kembali ke Indonesia.
5.
dalam
bidang investasi, untuk menciptakan ekonomi yang mandiri dengan memperkenalkan
konsep ‘Investor Amfibi’ yang banyak meminjam dasar-dasar ilmu Teknologi
Informasi, dimana kegiatan investasi di negara berkembang dapat dijalankan oleh
para alumninya hasil pendidikan luar negeri secara remote (jarak jauh), mobile
(berpindah-pindah tempat), dan adaptable (mudah beradaptasi), sekaligus
menghimbau kepada mereka yang sudah memilih berkiprah di luar untuk tidak
ragu-ragu dengan pilihannya sembari terus mengabdi bagi negeri. Serta dibahas
pula mengenai peluang, resiko dan tantangan bagi calon investor jarak jauh yang
ingin menanamkan modalnya di negara asal, dan pemikiran tentang bagaimana
investasi hasil pendanaan luar negeri tersebut dapat memberikan manfaat domino
effect bagi sumber-sumber daya lainnya di negara asal dan memacu percepatan
perputaran roda ekonomi mandiri secara keseluruhan, yang kesemuanya dilakukan
secara kompak dan berkesinambungan oleh insan-insan bangsa baik yang di dalam
maupun yang di luar negeri. (Dipto
Harendra Pratyaksa: KIPI 2007)
6.
Pemerintah
negara asal harus memberikan penghargaan yang sesuai dengan kualitas yang
dimiliki oleh para braindrainer.
7.
Memperbolehkan
sebagian orang-orang berkualitasnya untuk hijrah ke negara lain, namun ada
perjanjian dengan mereka. Yaitu mereka di sana diberi tugas mencari
iformasi-informasi tentang perkembangan perkonomian, dunia usaha, dan sosial
budaya yang berkembang disana. Sehingga negara asal dapat mengikuti
perkembangan yang ada, dan akhirnya diharapkan mampu bersaing dengan
negara-negara luar yang sudah maju.
Dengan upaya-upaya maupun
usaha-usaha di atas, apabila berhasil dan sukses diterapkan/dilaksanakan, maka
diharapkan dapat menciptakan sebuah reversed brain drain. Dimana dengan
terciptanya reversed brain drain ini akan dapat memacu produktifitas
perekonomian negara asal, serata juga dapat memperluas jaringan perekonomian
dengan para braindrainer sebagai penghubung antara negara maju dan negara
berkembang (negara asal). Dengan ini maka dampak positif akan tercipta, seperti
yang telah dijelaskan di atas. Sehingga pembangunan nasional negara asal dapat
tercapai sesuai yang diharapkan.
Braindrain
Brain Drain adalah fenomena yang
berkembang di dunia ketiga, termasuk Indonesia. Meskipun bukan hal yang baru,
namun fenomena ini cukup memprihatinkan dalam satu dekade belakang ini di
Indonesia. Brain drain atau human capital flight,
yaitu peristiwa hengkangnya tenaga ahli, pemikir, intelektual potensial
kenegara lain yang pada umumnya lebih maju dibanding negara asalnya. Atas alasan minimnya kesempatan berkarya dan
memberdayakan diri di tanah air, mereka hijrah ke negara yang memberikan
kemungkinan lebih untuk mengembangkan diri dan mengembangkan ilmu yang
dimilikinya. Brain drain merupakan fenomena global yang peristiwa dan
kejadiannya tidak hanya terjadi di Indonesia. Namun terjadi hampir di setiap
negara miskin, bahkan terjadi sejak pasca perang dunia kedua. Tujuannya adalah
negara negara kaya, negara yang ramah terhadap perkembangan dunia ilmu
pengetahuan dan negara yang memungkinkan mereka untuk memperoleh fasilitas dan
pendapatan lebih. Misalnya saja laporan dari UNDP (Amich Alhumami : 2007) beberapa
waktu yang lalu menyebutkan mencari dokter ahli tertentu asal Etiopia di USA
jauh lebih mudah dibanding mencari dokter spesialis asal Etiopia di negara
Etiopia sendiri. Pada umumnya pelaku brain drain adalah pemuda potensial yang
memiliki kemampuan diatas rata rata. Mereka adalah para akademisi, insinyur,
ahli komputer, ahli tekhnologi informasi dan kedirgantaraan, ahli astronomi,
dokter dan para ahli lainnya. Masa mudanya dihabiskan untuk berkarya dan
melakukan sejumlah research di yang dibiayai oleh negara tujuannya, sehingga
hasil karya dan temuannya dipatenkan di luar negeri. Indonesia harus membayar
nilai royalti kepada negara asing untuk mengakses temuan anak bangsanya
sendiri. Mereka berpikir bahwa minimnya fasilitas yang diberikan oleh negara untuk
kepentingan ilmu pengetahuan, minimnya fasilitas dan akses ke dunia
internasional serta rendahnya penghargaan terhadap kemampuan dan kapasitas yang
mereka miliki. Akhirnya mereka mencari negara yang memungkinkan kemampuan
mereka bisa berkembang dan kemampuan yang mereka miliki dihargai dengan lebih
baik. Di Indonesia, walaupun hingga saat ini belum terdapat data empiris yang
akurat, namun diperkirakan telah mencapai angka 5% pelaku brain drain dari
Indonesia. Jumlah ini dapat kita katakan cukup signifikan di tengah terpuruknya
SDM Indonesia (Hariyanto : 2008). Tentu kita masih mengingat hengkangnya Arif
Budiman, Ariel Heryanto dan beberapa inteletual muda karena tekanan politik
dari negara. Dikarenakan tuduhan subversibe dan dianggap seabagai intelektual oposisi
di masa orde baru, karir akademis di univesitas swasta di salatiga diberangus
melalui interverensi negara. Akhirnya dinegara maju dia malah diterima dan
diangkat sebagai visiting professor di perguruan tinggi di Australia. Fenomena
Sri Mulyani merupakan fenomena brain drain yang dilakukan oleh elit tekhnokrat
yang dimiliki bangsa ini. Terlepas dari kemelut politik dan Skandal Century,
Sri Mulyani merupakan ahli ekonomi dan keuangan yang potensial. Terpuruh di
negeri sendiri, namun kini dia berkibar di lembaga keuangan internasional.
Sebagai bangsa jelas brain drain memposisikan negara yang ditinggalkannya
sebagai obyek penderita. Negara yang ditinggalkannya mengalami kerugian karena
kehilangan SDM yang penting dalam pengembangan kapasitas masyarakat. Bangsa
mengalami kerugian bukan hanya karena perginya individu yang potensial dan
berbakat. Namun negara mengalami kerugian material karena sudah mengeluarkan
biaya yang tidak sedikit selama mereka tinggal di republik ini. Butuh nilai
nominal yang tidak sedikit untuk menghantarkan mereka menjadi tenaga ahli.
Sejak dari pendidikan dasar dan menengah selama di Indonesia atau bahkan
perguruan tinggi. Siapa yang harus bertanggungjawab atas fenomena yang semakin
menguat di Indonesia belakangan ini. Menggungat dan mempertanyakan nasionalisme
terhadap pelaku brain drain barangkali bisa dilakukan, meskipun sebenarnya
bukan disini pusaran persoalannya. Atas alasan negara telah mengeluarkan
sejumlah biaya dan fasilitas dalam proses tumbuh dan berkembangnya seorang ahli
tertentu, negara berhak menagih untuk memperoleh reward atau pengembalian dalam
bentuk kontribusinya terhadap pembangunan. Meskipun ini sangat tidak tidak
proporsional, mempertanyakan nasionalisme bisa saja dilakukan. Akar
persoalannya lebih pada kesempatan untuk bisa tumbuh dan berkembang. Pada
umumnya anak muda yang memiliki kemampuan lebih sangat peduli terhadap
pengembangan kapasitas diri. Logikanya, kalau mereka tidak bisa mendapatkan di
negeri sendiri dia akan mencari di negeri lain. Untuk itu barangkali
menciptakan kemungkinan untuk berkembang dan mendapatkan fasilitas lebih akan
mampu menahan laju brain drain dan pada gilirannya akan mampu menarik kembali
ilmuwan muda dan para ahli asal Indonesia untuk kembali dan mengabdikan diri
“kerumah sendiri”. India adalah salah satu negara di di Asia yang berhasil
menarik para ahlinya yang berserakan di luar negeri. Barangkali yang dilakukan
oleh DPP KNPI (bersama PB HMI dan PPI) tahun 2009 yang lalu yaitu pembentukan
Ikatan Ilmuwan Indonesia Internasional di Den Haag adalah salah satu langkah
kecil untuk “mengikat” dan “menambatkan” ilmuwan Indonesia yang bertalenta agar
tetap bersandar di rumah besar bangsa Indonesia. Dengan demikian mereka akan
tetap memberikan kontribusi positif dalam pembangunan.
India, pakistan, cina,
mengajarkan pada kita tentang kepercayaan diri selaku bangsa dan negara dunia ketiga.
India dan Cina berhasil mengubah kondisi brain drain menjadi brain
gain di tengah kondisi brain circulation.
Brain drain, bermakna ilmuan-ilmuan
terkemuka (outstanding) negeri sendiri dalam kondisi tersebar di seluruh
penjuru bumi ini, terutama tersebar di negara-negara maju, seperti Amerika dan
Eropa. Kondisi ini tentu saja sangat tidak diinginkan oleh negara yang
bersangkutan karena SDM penting yang ia miliki justru memajukan negara lain,
bukan negara asalnya.
Brain gain, bermakna meraih kekuatan ilmuan-ilmuan
negeri sendiri yang tersebar di seluruh pelosok bumi dengan cara membangun
jaringan yang menghubungkan mereka dan menyatukan pemahaman untuk membangun
negeri sendiri. Brain gain policyditerapkan pemerintahan di India
dan Cina sehingga efeknya bisa kita saksikan saat ini.
Selain atas dasar kesamaan asal
negara, brain gain policy muncul atas dasar pertimbangan
fenomena brain circulation yang terjadi di dunia saat
ini. Brain circulationberarti sebuah kondisi yang menggambarkan
ilmuan dari negara manapun, ras manapun akan mencari tempat di mana ia dapat
melakukan penelitian dengan sangat baik. Menyadari hal tersebut, tentu saja
dengan kebijakan brain gain, kedua negara di atas bukan hanya
meminta orang-orang cerdas di negaranya untuk bersama membangun bangsanya
tetapi juga mempersiapkan infrastruktur dan sokongan dana yang cukup untuk
menunjang riset mereka.
Kebijakan seperti ini pun diikuti
negara-negara lainnya, seperti Iran, Pakistan, Malaysia, dan Brazil.
Contoh kasus yang cukup populer
tentang upaya peningkatan kemampuan ilmu dan teknologi suatu bangsa, adalah
percakapan antara Presiden Pakistan, Pervez Musharaf dengan Prof. Dr. Atthaur
Rahman (ilmuan Kimia terkemuka Pakistan) ketika diminta untuk menjadi menteri
pendidikan dalam kabinetnya. Lantas Prof. Atthaur menjawab:“Are you serious
on science, Mr. President?”. Musharaf, menjawab: “of course I’m
serious!”. Prof. Atthaur kemudian melanjutkan: “if you are serious
in science, then follow my policy!”. Presiden kaget mendengar hal tersebut,
lantas meminta penjelasa kepada Prof. Atthaur. Ia menjelaskan: “first,
government must increase higher education budget this year by 100%, then
followed by 50 % every year to come until 5 years. Secondly, government must
increase research expenditure by 6000%, and lastly government must pay
Pakistani outstanding scientist fiur time higher than cabinet minister!. If you
agree with my policy, I’m ready to be a minister!”. Presiden setuju
dengan kebijakan ini. Sehingga setelah 5 tahun, kemajuan di bidang ilmu pengetahuan
dan industri Pakistan sudah mendekati India.
Kisah ini memberi pelajaran pada
kita sebagai berikut:
- Seorang
ilmuan semestinya tak hanya paham akan ilmu yang ia tekuni tetapi juga
harus menyadari mengenai kondisi bangsanya sekalipun itu menyentuh dunia
ekonomi dan politik karena ilmu yang dimilikinya sudah semestinya ia
baktikan untuk bangsa dan negaranya.
- Ketajaman
visi, keluasan pengetahuan, dan kepercayaan diri menjadi modal penting
untuk mewujudkan negara yang berdaulat seutuhnya, maju di segala bidang,
khususnya ilmu pengetahuan dan teknologi.
- Right
man on the right place menjadi
kunci penting dalam positioning SDM untuk memajukan
bangsa dan negara.
Oleh karena itu, rasanya
tak salah seandainya kita, Indonesia melakukan hal yang serupa seperti yang
dilakukan negara-negara tersebut. Sehingga kita bisa menjadi negara yang
benar-benar berdaulat dengan kekuatan ilmu pengetahuan dan teknologi karya
putera puteri negeri sendiri. Kita pun kelah akan bangga dengan bangsa kita
sendiri dan dapat terlepas dari berpangku tangan ke negara-negara lain.
Semoga kita bisa belajar lebih baik, untuk Indonesia yang lebih baik.
[rahadian]
Menahan arus brain drain
Prof Dr BJ Habibie, mantan
Menristek, pakar penerbangan internasional, sekaligus mantan Presiden RI dalam
orasi budaya awal 2011 di UMY menyatakan bahwa sebanyak 48 ribu tenaga ahli
berbagai bidang dari S2 (master) hingga S3 (doktor) dari berbagai bidang
seperti ahli penerbangan, kapal laut, dan bidang science lainnya yang
disekolahkan ke luar negeri 15 tahun lalu oleh pemerintah, sejak zaman Presiden
Soeharto dan Menristeknya Habibie waktu itu, tidak diketahui lagi
keberadaannya. Saat ini, sebagian besar mereka bekerja di beberapa negara Eropa
dan Amerika. Indikasi lain dari “waste” nya SDM terbaik Indonesia ditunjukkan
oleh data terbaru dari Atase Pendidikan KBRI Malaysia yang mengatakan bahwa ada
sekitar 4.000 WNI yang menjadi pengajar dan peneliti kontrak di berbagai
Perguruan Tinggi di Malaysia. Kedua data ini menunjukkan fenomena yang popular
dengan istilah “brain drain”.
Latar
Belakang
Brain Drain Istilah dan problem
“brain drain” muncul sejak era tahun 80 an, dan semakin menunjukkan trend
peningkatan di era knowledge and information seperti saat ini. Permasalahan
‘Brain Drain’ ini tentunya bukan hanya menjadi problem Indonesia, tetapi juga
negara-negara berkembang pada umumnya.William J. Carrington dan Enrica
Detragiache (1998). Brain drain menunjukkan bukti adanya perubahan signifikan
dari definisi asset perusahaan/organisasi, dimana bila pada tahun 70 an
struktur asset perusahaan didominasi oleh tangible asset sebanyak 83 persen,
tetapi pada era 2000 an terjadi pegeseran besar komposisi intangible asset
mendominasi 80 persen asset perusahaan. Intagible asset inilah yang berupa SDM
berpengetahuan tinggi (data S&P 500, 2005) Sejak awal tahun 2000,
permasalahan brain drain di Indonesia terjadi secara lebih sistematis melalui
banyaknya tawaran beasiswa dari negara-negara maju untuk pelajar Indonesia
berprestasi, seperti dari Australian Development Scholarship (Australia), Full
Bright (Amerika), British Chevening Awards (Inggris), Deutscher Akademischer
Austauschdienst (Jerman) dan beasiswa dari negara-negara lainnya termasuk dari
universitas-universitas di Singapore tentunya juga mempunyai andil dalam peningkatan
jumlah pelajar Indonesia yang pindah dan menetap di negara pemberi beasiswa
setelah kuliah mereka tamat. Saat ini brain drain di Indonesia diperkirakan
telah mencapai 5%, suatu angka yang cukup signifikan dan perlu diantisipasi
dampaknya kedepan mengingat brain darin berhubungan dengan perpindahan tenaga
ahli berpengetahuan tinggi.
Akar
Masalah Brain Drain
Data dari sebuah PTN terkemuka tahun lalu di
Indonesia ternyata cukup mencengangkan, dimana dalam 13 tahun belakangan ada 50
orang dosen dan peneliti bergelar S3 (Doktor) mengundurkan diri. Dari sisi
ekonomis maupun sosial, maka PT tersebut pada khususnya hingga negara kita pada
umumnya akan jelas rugi, karena mencetak satu Doktor saja butuh minimal biaya
satu miliar rupiah. Berbagai alasan mengemuka dari kejadian ini, antara lain
rendahnya pendapatan dan fasilitas penelitian, minimnya anggaran penelitian,
keinginan untuk memperoleh kualifikasi dan pengakuan yang lebih tinggi,
ekspektasi karier yang lebih baik, serta diskriminasi dalam hal penentuan
jabatan dan promosi. Dari sisi pendapatan misalnya, gaji dasar dosen baru di
Luar Negeri mencapai USD 55.000 sampai USD 65.000 per tahun (sementara di
Indonesia sekitar USD 2500 – USD 3500). Dosen senior dan Guru Besar bisa
menembus USD 85.000 dalam satu tahun (sementara di Indonesia setelah
sertifikasi USD 10.000 – USD 15.000). Itu masih belum termasuk fasilitas
asuransi kesehatan keluarga, akses internet gratis, dan fasilitas laboratorium
yang komplit. Dibandingkan dengan negara tetangga seperti Malaysia kitapun
kalah jauh, misalnya seorang dosen ITS yang baru lulus S3 Luar Negeri memilih
mengajar di Monash University cabang Malaysia dengan pendapatan per bulan
sekitar 25 juta rupiah, sementara di Indonesia gajinya masih berkisar 3,5 juta
rupiah. Dari sisi anggaran penelitian, maka nggaran untuk riset dan teknologi
(RISTEK) kita hanya 0,18% dari PDB, jauh di bawah standar UNDP yang menetapkan
setidaknya 1% dari PDB. Meskipun anggaran pendidikan telah mencapai 20%, tetapi
kita harus memaklumi bahwa anggaran pendidikan adalah syarat cukup (order
qualifier) dan bersifat expenses, sedangkan syarat menang (order winner) untuk
bersaing secara global adalah anggaran RISTEK yang sifatnya investasi.
Solusi
Alternatif
Menghadapi tantangan berupa
keterbatasan anggaran yang berdampak pada kesejahteraan, maka beberapa
alternatif solusi bisa ditawarkan sebagai berikut. Pertama, dibutuhkan
kolaborasi riset antara stakeholder segitiga ABG (Akademisi, Bisnis, dan
Government), atau yang bila stakeholder Akademisinya diperluas akan menjadi
Bisnis, Intelektual, dan Government (biasa disingkat BIG). Alternatif pertama
ini mengandung konsekwensi bahwa riset-riset di Universitas haruslah riset yang
sesuai dengan nature bisnis, yaitu riset dengan road map inovasi yang jelas dan
beberapa riset yang mempunyai kemampuan “jual”. Road map yang dimaksud adalah
peta tahapan riset yang dibuat secara tepat output akhir, state of the art, dan
daya saing hasil riset tersebut secara ekonomis. Daya saing secara ekonomis
perlu ditekankan disini, mengingat bahwa hasil riset haruslah “membumi”
penerapannya dalam arti “sangat bisa” (bukan sekedar bisa saja) dirasakan
manfaatnya sebagai suatu produk yang bernilai intelektual output bagi
masyarakat. Bila dari sisi pengembangan sains yang membutuhkan biaya besar kita
belum mampu, maka riset sebaiknya difokuskan pada teknologi terapan yang
biayanya lebih murah serta lebih bermanfaat bagi masyarakat, seperti TTG. Untuk
mewujudkan spirit ABG atau BIG tersebut, maka kolaborasi dan sinergi antar
lembaga penelitian menjadi penting. Artinya, road map penelitian suatu bidang
tertentu haruslah melibatkan “grand design” tujuan nasional yang ingin dicapai
bersama antara lembaga penelitian di universitas dengan lembaga penelitian di
litbang-litbang departemen, hingga litbang bisnis tingkat perusahaan. Grand
design tujuan nasional sebaiknya menyelaraskan antara 3 (tiga) pilar
pengembangan ekonomi, yaitu Knowledge Based Economic (KBE), Resouces Based
Economic (RBE), ditambah Culture Based Economic (CBE) sebagaimana arahan pidato
Presiden SBY di ITS pertengahan Desember 2010. Pemilihan strategis bidang dan
penyelarasan road map penelitian ini akan berdampak pada efisiensi anggaran
negara serta peningkatan mutu dan track record penelitian yang jelas
tahapannya. Alternatif kedua adalah mensiasati keterbatasan anggaran dengan
mengubah sebagian dana alokasi program menyekolahkan dosen baru ke luar negeri
menjadi program mengundang dosen dan peneliti terkemuka dari luar negeri untuk
mengajar dan meneliti di Indonesia. Mendatangkan dosen dan peneliti dari luar
negeri bisa jadi mahal, tetapi satu orang ahli tersebut dapat dirasakan
manfaatnya oleh banyak pihak (dosen dan mahasiswa). Selain itu, dampak
“intangiablenya” adalah untuk menciptakan kultur dan atmosfer akademik dan riset
yang jauh lebih baik. Kultur dan atmosfer riset yang lebih baik tersebut perlu
ditumbuhkan, mengingat bahwa seharusnya keterbatasan dana dan pendapatan bagi
peneliti bukanlah alasan utama untuk para peneliti eksodus tanpa manfaat. Cina
dan India yang sebenarnya ilmuwannya pendapatannya di dalam negeri rendah,
tetapi orang-orang pintar yang exodus itu setelah mereka meraih sukses, maka
mereka bikin asosiasi untuk membantu mahasiswa-mahasiswa dari negeri asal
mereka untuk sharing ilmu dan dana. Inilah kultur nasionalisme model baru yang
harus ditumbuhkan di Indonesia. Model lain dalam mengefisiensikan keterbatasan
anggaran riset dan menumbuhkan kultur riset pernah dilakukan Thailand, dimana
saat Uni Soviet runtuh awal tahun 90 an, maka ahli-ahli nuklir dan bioteknologi
mereka “dibajak” oleh universitas-universitas terkemuka di Thailand unuk
mengembangkan riset dibidang bioteknologi dan nuklir. “Pembajakan” ini
menyebabkan capaian Thailand dibidang rekayasa bioteknologi dengan aplikasi
nuklirnya sangatlah maju hingga ditingkat dunia.
Menahan
Arus Brain Drain
Berdasarkan pilihan alternatif
diatas, maka untuk menahan arus brain drain sekaligus mengubahnya menjadi
menjadi brain gain, maka dibutuhkan peran pemerintah sebagai fasilitator yang
aktif antara tiga segitiga stakeholder, yaitu BIG ataupun ABG. Peran sebagai
fasilitator tersebut dapat dilakukan dengan memberikan stimulus fiskal bagi
penelitian-penelitian yang melibatkan ketiga komponen segitiga, memudahkan pola
rekruitment tenaga ahli luar negeri untuk mengajar dan meneliti di Indonesia,
serta membentuk klaster penelitian bidang-bidang unggulan secara bersama-sama
antara PT yang sudah maju sebagai mentor dengan PT yang sedang menuju maju.
Dengan cara demikian, maka sinergi ABG/BIG akan dapat terimplementasikan dengan
baik, sehingga PT di Indonesia secara nasional akan mampu naik kelas, dari
teaching university menjadi research university, dan dari research university
menjadi entrepreneur university sesuai dengan keunggulan lokalnya
masing-masing.Semoga (AHN-www.technopeneursociety.com)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar