Kamis, 22 Desember 2016

BRAIN DRAIN, MASALAH BESAR BAGI NEGARA BERKEMBANG *


ABSTRAK
Migrasi internasional kini semakin menjadi permasalahan yang menyita perhatian banyak pihak. Transisi pada ilmu pengetahuan berbasis ekonomi menciptakan lebih banyak pangsa pasar yang terintegrasi bagi mereka yang mempunyai bakat dan keahlian yang tinggi. Bakat dan keahlian tersebut menjadi aset yang sangat berharga dalam percaturan ekonomi dunia. Akibatnya, gelombang brain drain dari negara-negara berkembang semakin menguat. Munculnya diaspora yang sangat luas adalah sebuah konsekuensi dari perburuan terhadap kesempatan terbaik bagi negara berkembang.
Paper ini berusaha mengidentifikasi fenomena brain drain yang umumnya terjadi pada negara-negara berkembang. Secara khusus, paper ini akan menguraikan problematika dan tantangan negara berkembang dalam pengembangan SDM dan sarana/fasilitas terkait dengan ilmu pengetahuan dan teknologi yang disebabkan oleh brain drain. Pada akhir tulisan, penulis menyuguhkan pola pengembangan SDM dan pengadaan sarana/fasilitas guna mencegah dan mengatasi  timbulnya efek negatif dari brain drain dengan melakukan studi analisa terhadap keberhasilan India dalam mewujudkan reversed brain drain. Sehingga diharapkan dengan terjadinya reversed brain drain, maka pembangunan ekonomi negara berkembang dapat berjalan lancar.
Kata Kunci: Brain drainSumber Daya Manusia, Pengembangan Fasilitas, Keberhasilan India.

1. Pendahuluan
Sejarah melukiskan bahwa pasca meletusnya Perang Dunia II telah meyebabkan para tenaga ahli dan terdidik dari berbagai belahan dunia, terutama Eropa, bermigrasi dari satu negara ke negara lainnya. Kemenangan yang diperoleh oleh negara-negara Sekutu membawa para imigran ahli untuk menjadikan negara tersebut sebagai pelabuhan ilmu. Berkisar pada tahun 1960-an dan awal tahun 1970-an, bermigrasinya para tenaga ahli dari negara berkembang seperti ke negara maju semakin meningkat. Hal ini terjadi terutama ke negara-negara yang memberikan banyak keunggulan dan kesempatan (land of opportunity).
Dan akhir-akhir ini semakin banyak profesional (orang-orang berpendidikan tinggi, berbakat dan terlatih) terbaik negara-negara berkembang hijrah atau meninggalkan negaranya yang miskin ke negara-negara maju (negara-negara industri) seperti Amerika Serikat, Inggris, Kanada, dan Australia. Mereka itu adalah para ilmuwan, informatisi (ahli ICT), arsitek, insinyur, akademi, dokter, dan para ahli lainnya. Peristiwa ini lebih dikenal dengan istilah brain drain. Dimana peristiwa Brain drain ini merupakan kerugian besar bagi negara yang ditinggalkan.
Brain drain ini hampir sama dengan peristiwa aglomerasi. Aglomerasi adalah keadaan dimana penduduk di suatu negara terpusat di daerah perkotaan, terutama penduduk-penduduk yang berkualitas. Tujuan mereka pindah ke kota adalah karena prospek ekonomi yang menjanjikan. Sama seperti brain drain ini, dimana orang-orang yang pandai akan pindah ke negara maju, dengan tujuan yang salah satunya sama dengan aglomerasi tadi. Sehingga banyak orang-orang pandai terpusat di negara-negara maju. Perbedaanya hanya kalau aglomerasi terjadi hanya di suatu negara, yaitu antar daerah saja. Sedangkan brain drain terjadi di seluruh dunia yang meliputi banyak negara, yaitu baik negara maju maupun negara berkembang.
Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh UNCTAD, dapat diketahui bahwa dokter, informatisi (ahli ICT), insinyur serta ahli-ahli liannya dari negara-negara miskin setiap tahun terus mengalir ke negara-negara makmur dan maju. Riset ini dilakukan setiap tahun yaitu di 50 negara kurang maju, antara lain 8 negara Asia, 33 negara Afrika, 8 kepulauan dan Haiti. Terlihat bahwa brain drain alias human capital flight dari negara-negara di kawasan itu terus meningkat. Pada 1990 jumlahnya mencapai 16,5%. Dan sekarang jumlah itu meningkat menjadi 21,4%. Jumlah brain drain tertinggi berasal dari Haiti. Negeri itu kehilangan 80% sumber daya manusia berpendidikan tinggi dan terampil.
Di Indonesia, walaupun hingga saat ini belum terdapat data empiris, namun diperkirakan telah mencapai 5%. Jumlah ini dapat kita katakan cukup signifikan di tengah terpuruknya SDM Indonesia yang disertai dengan kecilnya alokasi anggaran pendidikan yang hanya menyisihkan 11,8% dari APBN. Kondisi ini diperparah dengan alokasi anggaran riset dan teknologi yang tidak pernah mencapai angka minimal 1% dari produk domestik bruto. Padahal, menurut analisa UNDP, angka minimum tersebut merupakan anggaran minimum untuk terciptanya kemakmuran suatu bangsa.
Sedangkan menurut Aaron Chaze (2007), yang melakukan penelitian di 61 negara berkembang, dimana sebagian besar para braindrainer memilih bermigrasi ke negara-negara Organization for Economic Cooperation and Development (OECD), terutama Amerika Serikat, Kanada, Inggris, Perancis, dan Jerman. Saat ini terdapat sebanyak 50.000 (5%) dokter India yang bekerja di negeri Paman Sam serta ratusan ribu manajer, teknisi, dan ahli komputer bekerja di Microsoft, McKinsey & Company, Citigroup, dan berbagai firma teknologi informasi di kota-kota metropolitan Amerika.
UNDP memperkirakan, India kehilangan sekitar dua miliar dollar AS per tahun akibat migrasi teknisi dan ahli komputer, yang diproyeksikan mencapai 2,2 juta orang sampai akhir tahun 2008 nanti. Beruntung, Indonesia termasuk yang paling rendah, yakni kurang dari 5% dari golongan terdidik yang bermigrasi ke negara-negara maju.
Dari kawasan Afrika, aliran migrasi paling banyak dari Ghana, Kenya, Afrika Selatan, Zimbabwe, Somalia, Nigeria, dan Etiopia, yang sekitar 60% juga berpendidikan tinggi. Bahkan sejak 20 tahun terakhir, Etiopia kehilangan sekitar 75 persen tenaga-tenaga ahli, seperti dosen, insinyur, dan dokter akibat brain drain.
Sungguh ironis, lebih mudah menjumpai dokter asal Etiopia di Chicago ketimbang di Addis Ababa, bahkan sekitar 21.000 dokter asal Nigeria berpraktik di seluruh penjuru Amerika. Lebih menyedihkan lagi, Afrika harus mengeluarkan dana lebih dari empat miliar dollar AS per tahun untuk membayar sekitar 150.000 expatriate profesional yang bekerja di benua miskin itu.
Adapun imigran dari Afrika Utara dan Timur Tengah yang paling banyak berasal dari Maroko (satu juta), Aljazair dan Iran (masing-masing 500.000), serta Mesir, Sudan, Tunisia, Irak, Suriah, Lebanon, Jordania (masing-masing 250.000). Sekali lagi, amat memilukan mengingat mayoritas para imigran itu adalah anak-anak muda terpelajar lulusan universitas.

2. Faktor-Faktor Yang Menyebabkan Terjadinya Brain Drain
Faktor penyebab terjadinya brain drain ini seringkali dilihat dari model bipolar yaitu faktor penarik dan faktor pendorong. Faktor penarik yaitu faktor yang datang dari negeri tujuan, yaitu:
1.                  untuk memperoleh prospek ekonomi dan kehidupan yang lebih baik, yaitu gaji yang lebih tinggi, kondisi kerja dan hidup yang lebih baik, dan perspektif karir yang terjamin.
2.                  fasilitas yang ditawarkan juga sangat kompetitif, seperti fasilitas pendidikan, penelitian, dan teknologi yang lebih memadai, kesempatan memperoleh pengalaman bekerja yang luas.
3.                  tradisi keilmuan dan budaya yang tinggi.
4.                  agen di luar negeri yang sering memberikan informasi yang sangat bagus, dan lain sebagainya.
Sedangkan faktor pendorong yaitu faktor yang datang dari negeri asal, yaitu:
1.                  kebebasan, serta merasa tak aman akibat perang dan pergolakan politik domestik yang tak kunjung berakhir.
2.                  tidak adanya penghargaan dari pemerintah, dan lain sebagainya.
3.                  Faktor penyebab ‘penarik-pendorong’ ini terkadang juga dapat dibedakan menjadi faktor penyebab obyektif-subyektif. Penyebab secara obyektif adalah faktor-faktor yang berhubungan dengan kebijakan yang diberikan oleh negara asal maupun tujuan dan terkait erat dengan biasanya orang-orang pintar ini tidak mau tinggal di negaranya yang masih terbelakang, karena takut tidak bisa mengembangkan ilmu dan keahliannya.
4.                  dikarenakan rendahnya pendapatan dan fasilitas penelitian.
5.                  keinginan untuk memperoleh kualifikasi dan pengakuan yang lebih tinggi.
6.                  ekspektasi karir yang lebih baik, kondisi politik yang tidak menentu.
7.                  adanya diskriminasi dalam hal penentuan jabatan dan promosi.
8.                  khusus para dokter yang berasal dari Afrika umumnya ada motivasi lain, yakni menghindari risiko tinggi kemungkinan tertular HIV.
9.                  ilmu atau pengetahuan dan keterampilan yang dimiliki dan dikuasai ternyata tidak berguna di negara asal, sehingga tidak ada pilihan yang lebih baik selain meninggalkan negaranya.
10.              dipengaruhi faktor non ekonomi, misalnya seperti agama dan ras.
tidak adanya kenyamanan dalam bekerja dan memperoleh kebebasan, mereka mengalami tekanan politik, menghindari rezim represif yang mengekang karakteristik negara tersebut, seperti misalnya lemahnya kebijakan terhadap tradisi keilmuan. Sedangkan penyebab secara subyektif biasanya terbatas pada motif-motif personal dari yang bersangkutan.

3. Dampak Peristiwa Brain Drain Bagi Negara Berkembang (Negara Asal)
Kalau kita mendengar kata brain drain, pasti yang terpikir oleh kita adalah sebuah peristiwa yang hanya akan mendatangkan kerugian bagi negara-negara bekembang. Dimana banyak orang-orang pintar dan ahli meninggalkan negaranya itu, yang disebabkan oleh kelemahan-kelemahan yang ada di negara tersebut. Memang telah kita ketahui bersama bahwa peristiwa brain drain ini membawa efek negatif yang sangat besar, terutama bagi negara asal. Namun, ternyata ada juga efek positif yang dihasilkan oleh peristiwa brain drain ini walaupun tidak sebesar efek negatif yang dihasilkan.
1.                  Dampak negatif yang timbul :
  1. brain drain akan memperlemah struktur ketenagakerjaan, dimana hal ini merupakan faktor utama penghambat industri untuk maju. Sehingga pembangunan ekonomi negeri asal pun tidak berkembang.
  2. masalah dari brain drain ini seperti lingkaran setan yang mempertahankan keterbelakangan. Dimana banyak sekali negara yang kekurangan tenaga ahli, namun setelah ada tenaga yang terdidik, mereka malah pergi ke negara lain dengan berbagai alasan.
  3. semakin lebarnya jurang antara si miskin dan si kaya.
  4. brain drain memboroskan bahkan menguras uang negara asal. Banyak sekali orang-orang pintar yang dibiayai oleh negara untuk belajar ke luar negeri agar menjadi lebih ahli. Namun setelah selesai masa pendidikannya, mereka malah tidak mau kembali. Mereka diberi fasilitas oleh negara tetapi tidak mau balas budi, mereka lebih mementingkan kepentingan dirinya sendiri dan malah memberikan sumbangan keahliannya dalam mempertinggi pertumbuhan ekonomi negara-negara yang sudah maju. Contohnya, di Indonesia dalam 13 tahun belakangan, di UGM ada 50 orang dosen dan peneliti mengundurkan diri. Universitas jelas rugi, karena mencetak satu doktor saja butuh sekurang-kurangnya satu miliar rupiah. Padahal ada seratusan cendekiawan yang hijrah ke manca dan terbanyak di Malaysia.
  5. brain drain berarti kerugian besar pada modal sumber daya manusia. Apalagi umumnya yang diterima di luar negeri merupakan sumberdaya berkualitas. Sementara keuntungan dari brain drain berpendidikan tinggi bagi negara yang ditinggalkan sangat terbatas. Walaupun menikmati gaji tinggi, mereka umumnya minim sekali mengirim uang ke negeri asalnya dibandingkan emigran berpendidikan rendah. Ikatan mereka dengan negeri asalnya juga mengendur, karena secara umum mereka tinggal menetap (settled) di negeri baru mereka.
  6. orang-orang terbaik yang hijrah ke luar negeri pasti akan digantikan oleh para ekspatriat (dengan kemampuan yang sama) yang umumnya minta bayaran berkali lipat lebih mahal. Yang terjadi selanjutnya adalah proses inefisiensi perekonomian dalam negeri.
  7. terjadinya brain drain bagi negara asal tentunya membawa implikasi negatif yang tidak sedikit, seperti kondisi di mana kurangnya tenaga terlatih dan terdidik dari suatu negara, serta terjadinya ketidakseimbangan pertumbuhan ekonomi yang sulit untuk diprediksi. Selain itu, brain drain dapat juga membawa pengaruh rendahnya kesejahteraan terhadap lingkungan, di mana para tenaga terdidik tersebut berasal.
2.                  Dampak positif  yang timbul:
Beberapa negara berkembang kini telah mampu memanfaatkan kondisi brain drain menjadi reversed brain drain untuk kemajuan negaranya, misalnya Cina dan India, dua “macan Asia” yang mempunyai konsentrasi brain drain sangat tinggi. Brain drain juga memiliki beberapa dampak positif yang dapat meningkat pertumbuhan ekonomi negara:
  1. Alternative sumber investasi
  2. Penurunan tingkat unemployment
  3. Optimalisasi kapasitas produksi Negara
  4. Peningkatan kualitas SDM
  5. Uptodate perkembangan ilmu pengetahuan dan tekhnologi
  6. International networking. Misalnya: beberapa hasil komoditas pertanian unggulan lokal seringkali kalah bersaing dengan negara-negara lain. Produk seni dengan nilai tinggi seperti kerajinan dan seni ukir pun belum bisa berjaya di pangsa pasar negara lain. Padahal, tingkat kemakmuran ekonomi wilayah sangat bergantung kepada pendapatan dari luar melalui sektor basis (Tarigan, 2006), termasuk ekspor. Terhambatnya aliran informasi dari negara terkait dengan pangsa pasar di luar negara adalah salah satu penyebabnya. Sehingga salah satu upaya dalam memperbaiki kondisi ini adalah dengan diperkuatnya jaringan networking pengusaha Indonesia yang berada di luar negeri. Melalui jaringan ini, informasi aktif kepada wilayah terkait mengenai a) pangsa pasar, b) unsur sosial-kebudayaan dan c) aspek legal dalam pengembangan usaha di negera tersebut, dapat membantu potensi sektor basis wilayah terkait untuk dapat memasarkan produk-produknya secara optimal.
Kondisi reversed brain drain yang terjadi sejak awal 1990-an tersebut, selain memacu produktivitas perekonomian negara asal, diyakini juga telah meninggalkan buah manis berupa jaringan keilmuan dan pemasaran yang kuat dan tersebar hampir di seluruh negara-negara maju yang pernah mereka huni sebelumnya. Dengan kehadiran para braindrainer, peningkatan produktivitas terbukti meledak-ledak, peluang bisnis baru terus menyeruak, kepuasan kerja meningkat, demikian pula ilmu pengetahuan melaju lebih cepat. Artinya, semakin banyak perusahaan atau negara bersaing mendapatkan orang-orang bertalenta, semakin bagus peluang para jenius itu mengaktualisasikan potensi mereka demi membangun dunia yang lebih berkualitas.

4. Belajar Dari India Yang Telah Berhasil Menaklukan Masalah Brain Drain
Wabah brain drain telah menyerang India selama lebih dari 30 tahun yang lalu. India secara rutin merupakan negara pengekspor tenaga muda yang terampil ke negara-negara maju. Dimulai pada awal tahun 1960-an, lulusan terbaik dari beberapa Indian Institute of Technology (IITs) meninggalkan India dalam jumlah yang cukup besar untuk kemudian bekerja pada Silicon Valley, Amerika Serikat. Tidak jauh berbeda, penduduk India juga bermigrasi secara tradisional ke Inggris dan Kanada. Awal tahun 1970-an, jumlah warga India yang bermigrasi ke Amerika memiliki besaran yang sama dengan mereka yang bermigrasi ke Inggris dan Kanada. Namun pada awal tahun 1990, jumlah penduduk India yang bermigrasi ke Amerika telah meningkat hampir dua kali lipat dari mereka yang pergi ke kedua negara tersebut di atas. Saat ini, komunitas India di Amerika, baik imigran maupun mereka yang terlahir di sana, merupakan komunitas dengan proposi cukup besar sehingga dianggap mewakili populasi asal Asia. Kini para profesional asal India tersebut telah menguasai sedikitnya 8.000 perusahaan di bidang komunikasi, informasi dan teknologi di kawasan Silicon Valley dengan pemasukan sebesar US$ 4 miliar ditambah dengan penyediaan lapangan kerja sebanyak 17.000 kursi.
Namun kini, fenomena brain drain di India telah berangsur sirna dan berubah menjadi reversed brain drain. Sejak akhir tahun 1990-an, para ilmuwan dan profesional India yang telah menetap di luar negeri mulai kembali ke tanah airnya. Kesempatan itu dilakukan pada masa cuti panjang ataupun di tengah masa penelitiannya dengan cara mengajar di India dan berinteraksi secara langsung dengan sesama peneliti di negara asal. Hal ini terjadi hampir di berbagai bidang pegetahuan, khususnya IT, kedokteran, dan ekonomi. Saat ini, sedikitnya terdapat sekitar seratus ribu warga negara India yang sebelumnya bekerja di luar negeri telah kembali ke negaranya secara permanen, di mana 32.000 di antaranya merupakan non-resident Indian (NRI) yang berasal dari Inggris. Hasilnya, brain drain yang dirasakan merugikan India mulai menjelma menjadi brain circulation yang membawa keuntungan secara mutual bagi India dan negara tujuan. Dalam konteks ini, Bindo Khadria menyebutnya sebagai second-generation effects of brain drain.
Terhadap kondisi tersebut di atas, Pan Mohamad Faiz menganalisa adanya beberapa faktor yang menjadi penyebab utama terciptanya pola reversed brain drain di India, yaitu: Pertama, terjadinya tansisi kebijakan pemerintah India secara gradual dari pola kontrol ekonomi sosialis melalui sebuah proses liberalisasi yang dimulai pada awal tahun 1990-an telah menciptakan tidak hanya tersedianya berbagai lapangan kerja baru di bidang manufaktur dan teknologi, tetapi juga meningkatnya reputasi berbagai lembaga tinggi pendidikan di bidang IT dan manajemen. Di samping itu, pengelolaan institusi-institusi swasta tidak lagi dipersulit oleh campur tangan pemerintah yang selama ini dirasa cukup dominan.
Kedua, terjadinya reversed brain drain di India disebabkan pula akibat melemahnya kondisi perekonomian di Amerika Serikat sendiri. Kondisi tersebut menyebabkan banyaknya perusahaan yang menutup aktivitasnya, termasuk memutuskan hubungan kerja dengan para tenaga ahlinya. Guna mengatasi masalah ini, Amerika mulai mengeluarkan kebijakan outsourcing dengan mencari tenaga-tenaga ahli yang lebih murah namun mempunyai kemampuan yang tinggi, salah satunya dengan memanfaatkan pengeluaran visa H-1B. Kesempatan inilah yang dimanfaatkan oleh para profesional dan pebisnis asal India. Mereka berduyun-duyun kembali ke negaranya sebagai fasilitator antara tenaga ahli yang berada di India dengan jaringan pasar internasional. Booming besar berikutnya terjadi ketika India menciptakan kota-kota IT yang diberi nama Indian Silicon Valley yang berpusat di Bangalore, di mana perusahan-perusahaan sekelas Hawlett-Packard, IBM, dan Microsoft mulai membuka laboratorium riset secara khusus di wilayah tersebut. Hasilnya yaitu penciptaan kekuataan baru para pekerja transnasional di berbagai sektor ekonomi, penguatan infrastruktur fisik dan sosial di Bangalore dan sekitarnya, serta penempaan dan penguatan hubungan transnasional antara India dan Amerika Serikat.
Ketiga, kesuksesan India menarik kembali para ilmuwannya tidak terlepas dari jaringan diaspora yang selama ini dapat terus mereka pertahankan, baik diaspora yang bersifat keilmuan maupun diaspora yang bersifat komunitas kemasyarakatan. Beberapa diaspora keilmuan utama yang mereka miliki misalnya, Silicon Valley Indian Professional Association (SIPA), Worldwide Indian Network, The International Association of Scientists and Engineers and Technologist of Bharatiya Origin, dan Interface for Non Resident Indian Scientists and Technologist Programme (INRIST). Dari sinilah mereka memperoleh sumber potensi yang sangat besar dalam menjalankan kerjasama secara efektif dan menguntungkan kedua belah pihak antara negara India sebagai negara berkembang dengan berbagai negara industri maju lainnya.
Keuntungan dari terjadinya reversed brain drain tersebut, terhitung dalam lima belas tahun terakhir ini, industri teknologi India mulai berkembang menjadi teknologi kualitas tinggi dengan pertumbuhan dari US$ 150 juta menjadi US$ 3,9 miliar dalam hal penjualan. India saat ini juga telah mengekspor produksi piranti lunak ke hampir 100 negara di dunia, termasuk Amerika Serikat dan negara-negara di benua Eropa. Meningkatnya ikatan rasa emosional dan budaya terhadap tanah kelahiran India menjadi modal tambahan meluasnya kesempatan bagi para profesional India. Begitu pula dengan kesempatan bekerja di dalam negeri yang tidak kalah bersaing dengan perusahan-perusahaan terkenal lainnya di luar negeri. Sebagai contoh, salah satu tamatan terbaik Indian Institute of Management (IIM) di Bangalore memperoleh tawaran kerja dari Barclays Capital dengan gaji sekitar US$ 193.000 per tahun, atau lulusan Indian School of Business (SIB) di Hyderabad biasanya memperoleh tawaran kerja dari perusahaan India dengan gaji rata-rata sekitar US$ 200.000 per tahun. Belum lagi tawaran-tawaran dari perusahan besar seperti Goldman Sachs, BNP Paribas, Merrill Lynch, Lehman Brothers, Deutsche Bank, J.P. Morgan, McKinsey, Bain & Co. Boston Consulting Group, A.T. Kearney and Diamond Cluster, serta sederet perusahaan berkelas lainnya.
Beberapa tahun terakhir ini, India bukan saja mengalami reversed brain drain, akan tetapi kini mereka diuntungkan dengan terciptanya brain gain dari negara-negara lainnya. Meledaknya perekonomian India memicu sedikitnya puluhan tenaga ahli dari negara-negara Eropa, seperti Swedia, Norwegia, Perancis, Jerman, Swiss dan Inggris untuk berkerja pada industri teknologi di kawasan industri Okhla, New Delhi, India. Lebih dari itu, survey yang dilakukan di Inggris pada tahun 2005 menyimpulkan bahwa para lulusan Inggris tengah mempersiapkan dirinya untuk mengisi 16.000 lowongan pekerjaan pada Indian call-center di tahun 2009 mendatang. Bahkan dalam laporan tersebut disampaikan bahwa seorang lulusan sarjana dari Skotlandia rela untuk melepaskan pekerjaannya dari Sky Television dengan gaji £21.000 per tahun untuk kemudian bekerja pada Indian call-center.
Terjadinya reversed brain drain di India tidak dapat dipisahkan dari peran dan keuntungan yang diperoleh dari adanya diaspora India. Diaspora ini tersebar ke berbagai belahan dunia sebagai silent networking. Sekitar 20 juta orang yang tergabung dalam komunitas elektik ini tumbuh dan berkembang sebesar 10% setiap tahunnya, sehingga menempatkan komunitas ini sebagai diaspora terbesar di dunia setelah Cina dan Inggris. Setidaknya terdapat lebih puluhan ribu warga negara India yang menempati 48 negara di seluruh dunia. Meskipun mendiami negara dan bahasa yang berbeda-beda, diaspora India mempunyai identitas yang sama dengan negara asalnya, yaitu suatu kesadaran akan warisan kebudayaan dan ikatan emosional yang sangat kuat terhadap garis keluarga dan negara asalnya. Dalam dua dekade terakhir, diaspora India telah mengalami perubahan, yaitu dari para imigran biasa menjadi pemegang peranan kunci pada posisi penting di bidang politik, lembaga universitas, dan sektor industri. Mereka menempati pos-pos penting sebagai pemimpin terpilih, politisi, profesor, dan status profesional lainnya. Beberapa contoh terbaiknya yaitu Bharrat Jagdeo, Presiden Guayana yang beraliran sosialis; anggota Kongres di Amerika Serikat; anggota parlemen di Kanada; serta penerima Nobel Ekonomi, Amartya Sen.
Terhadap gambaran di atas, dalam lingkup diaspora India, migrasi warga India kini tidak lagi menyebabkan terjadinya brain drain melainkan justru menjadi elemen awal terciptanya brain gain. Selain itu, anggota dari diaspora India yang tergabung dalam NRI dan PIO juga telah memberikan kontribusi yang signifikan terhadap pertumbuhan dan perkembangan di India. Diaspora India juga merupakan komunitas yang berharga dalam memberikan kontribusi terhadap meningkatnya hubungan India-Amerika, sehingga hal tersebut menghasilkan keuntungan ganda bagi negaranya. Dengan terbuktinya keunggulan dari jaringan diaspora terhadap pertumbuhan dan perkembangan negara India, fenomena mengenai brain drain dan migrasinya tenaga ahli telah berubah menjadi mantra brain gain. Oleh karenanya, diaspora semacam ini patut menjadi perhatian khusus bagi kita semua, terutama mengenai kuatnya keterikatan mereka dengan keluarga dan negara asalnya. (Pan Mohamad Faiz: KIPI 2007)

5. Kesimpulan
Tingginya laju arus tenaga ahli dari negara berkembang ke negara-negara yang lebih maju (brain drain) menjadi salah satu alasan yang menunjukkan lemah dan kurang tepatnya strategi kebijakan dan pandangan dalam menumbuhkan khasanah ilmu pengetahuan dan teknologi secara adil dan memadai serta kebijakan-kebijakan yang kurang mendukung para tenaga ahli.
Dengan adanya dampak-dampak negatif serta adanya faktor-faktor pendorong dan penarik dari peristiwa brain drain di atas, maka perlu adanya usaha-usaha yang dilakukan negara-negara berkembang untuk mengatasi permasalahan tersebut. Sehingga arus brain drain diharapkan dapat ditekan seminimum mungkin. Banyak sekali cara-cara yang dapat dilakukan untuk mengatasi masalah brain drain, di atas kita telah melihat sebuah negara yaitu India yang telah mampu mengubah brain drain menjadi brain gain. Selain hal-hal di atas yang diterapkan oleh India, masih banyak lagi hal-hal yang bisa dilakukan oleh negara-negara berkembang agar arus brain drain dapat diatasi. Sehingga negara asal tidak akan dirugikan terus.
Untuk itu, guna memperoleh pergerakan asimetris arus dan distribusi tenaga ahli secara global, negara-negara berkembang harus berani dan kreatif dalam mengimplentasikan strategi yang didukung secara penuh oleh kebijakan dalam negeri. Cara-cara ataupun usaha-usaha yang bisa dilakukan antara lain:
1.                  upah/gaji disamakan, tidak ada diskriminasi. Yaitu dengan membangun sistem remunerasi yang fair. Contoh paling sederhana dan konkret, untuk posisi tertentu dengan tugas dan tanggung jawab yang tertentu pula, tak perlu lagi dibeda-bedakan antara gaji (profesional lokal) dengan gaji ekspatriat yang biasanya dibayar jauh lebih mahal. Karena dengan sistem remunerasi yang baik, menurut berbagai penelitian, juga terbukti mampu mendorong semangat kerja, memacu produktivitas, serta melecut kreativitas karyawan di semua level organisasi.
2.                  Sistem pendidikan ditingkatkan. Yaitu dengan menyediakan kesempatan pendidikan berkelas dunia (dari pendidikan dasar sampai perguruan tinggi harus mampu bersaing dengan pendidikan negara-negara luar yang sudah maju), membangun penelitian ilmu pengetahuan dan pengembangan industri. Selian itu, juga mengimplentasikan rancang-bangun pendidikan yang dapat mendukung dan memelihara pengembangan inti ilmu pengetahuan melalui program dalam negeri dan pelatihan luar negeri yang lebih terarah dan terencana. Pemenuhan target program pendidikan dasar bagi seluruh warga negara, investasi pada infrastruktur untuk penelitian, pengembangan dan penciptaan kondisi yang dapat menunjang tumbuhnya sektor publik maupun swasta dalam lingkup hasil penelitian, serta pengembangan teknologi dan inovasi merupakan beberapa strategi yang dapat dilakukan dalam kondisi sekarang ini. Oleh sebab itu, guna mewujudkan langkah-langkah strategis di atas, kerjasama antara pemerintah dengan sektor swasta harus pula dijalankan secara optimal. Beberapa negara besar telah berhasil menunjukkan bahwa diaspora ilmu pengetahuan (scientific diaspora) dapat bekerja sangat efektif, terutama untuk memanfaatkan efek negatif dari terciptanya arus brain drain. Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, India dapat menjadi gambaran bagi negara berkembang bahwa upaya dalam melakukan penelitian dalam negeri sangat ditopang dan dibantu dengan adanya aktivitas jaringan sejagat (global network) dari para peneliti yang tinggal di luar negeri. Oleh karena itu, diaspora negara berkembang yang telah ada harus pula didukung agar mampu melakukan transfer pengetahuan dan teknologi (knowledge and technology transfer) secara bertahap.
3.                  Kesiapan pemerintah menampung mereka di segala bidang. Yaitu dengan menyiapkan sarana dan prasarana serta fasilitas yang sangat dibutuhkan oleh para tenaga ahli. Pemerintah harus menyediakan kesempatan kerja di segala bidang, sehingga ilmu dan keterampilan yang mereka dapatkan bisa diimplementasikan di negaranya sendiri dan tidak sia-sia. Sehingga mereka tidak akan berpikir untuk lari ke luar negeri.
4.                  Pemerintah harus mengadakan perjanjian dengan para braindrainer. Misalnya di Singapura, para braindrainer diwajibkan bekerja minimal 2 – 3 tahun di negara tujuan, setelah itu mereka harus kembali ke negara asal untuk menerapkan ilmu dan keterampilan yang telah diperoleh di negara tujuan. Di Kuba, adanya subsidi belajar ke luar negeri bagi mereka yang pandai dan berminat, namun setelah selesai/lulus mereka harus kembalidan mempraktekan ilmunya di dalam negeri. Dan di indonesia, adanya denda pengembalian uang beasiswa jika dalam waktu yang ditentukan mereka tidak kembali ke Indonesia.
5.                  dalam bidang investasi, untuk menciptakan ekonomi yang mandiri dengan memperkenalkan konsep ‘Investor Amfibi’ yang banyak meminjam dasar-dasar ilmu Teknologi Informasi, dimana kegiatan investasi di negara berkembang dapat dijalankan oleh para alumninya hasil pendidikan luar negeri secara remote (jarak jauh), mobile (berpindah-pindah tempat), dan adaptable (mudah beradaptasi), sekaligus menghimbau kepada mereka yang sudah memilih berkiprah di luar untuk tidak ragu-ragu dengan pilihannya sembari terus mengabdi bagi negeri. Serta dibahas pula mengenai peluang, resiko dan tantangan bagi calon investor jarak jauh yang ingin menanamkan modalnya di negara asal, dan pemikiran tentang bagaimana investasi hasil pendanaan luar negeri tersebut dapat memberikan manfaat domino effect bagi sumber-sumber daya lainnya di negara asal dan memacu percepatan perputaran roda ekonomi mandiri secara keseluruhan, yang kesemuanya dilakukan secara kompak dan berkesinambungan oleh insan-insan bangsa baik yang di dalam maupun yang di luar negeri. (Dipto Harendra Pratyaksa: KIPI 2007)
6.                  Pemerintah negara asal harus memberikan penghargaan yang sesuai dengan kualitas yang dimiliki oleh para braindrainer.
7.                  Memperbolehkan sebagian orang-orang berkualitasnya untuk hijrah ke negara lain, namun ada perjanjian dengan mereka. Yaitu mereka di sana diberi tugas mencari iformasi-informasi tentang perkembangan perkonomian, dunia usaha, dan sosial budaya yang berkembang disana. Sehingga negara asal dapat mengikuti perkembangan yang ada, dan akhirnya diharapkan mampu bersaing dengan negara-negara luar yang sudah maju.
Dengan upaya-upaya maupun usaha-usaha di atas, apabila berhasil dan sukses diterapkan/dilaksanakan, maka diharapkan dapat menciptakan sebuah reversed brain drain. Dimana dengan terciptanya reversed brain drain ini akan dapat memacu produktifitas perekonomian negara asal, serata juga dapat memperluas jaringan perekonomian dengan para braindrainer sebagai penghubung antara negara maju dan negara berkembang (negara asal). Dengan ini maka dampak positif akan tercipta, seperti yang telah dijelaskan di atas. Sehingga pembangunan nasional negara asal dapat tercapai sesuai yang diharapkan.

Braindrain
Brain Drain adalah fenomena yang berkembang di dunia ketiga, termasuk Indonesia. Meskipun bukan hal yang baru, namun fenomena ini cukup memprihatinkan dalam satu dekade belakang ini di Indonesia. Brain drain atau human capital flight, yaitu peristiwa hengkangnya tenaga ahli, pemikir, intelektual potensial kenegara lain yang pada umumnya lebih maju dibanding negara asalnya. Atas alasan minimnya kesempatan berkarya dan memberdayakan diri di tanah air, mereka hijrah ke negara yang memberikan kemungkinan lebih untuk mengembangkan diri dan mengembangkan ilmu yang dimilikinya. Brain drain merupakan fenomena global yang peristiwa dan kejadiannya tidak hanya terjadi di Indonesia. Namun terjadi hampir di setiap negara miskin, bahkan terjadi sejak pasca perang dunia kedua. Tujuannya adalah negara negara kaya, negara yang ramah terhadap perkembangan dunia ilmu pengetahuan dan negara yang memungkinkan mereka untuk memperoleh fasilitas dan pendapatan lebih. Misalnya saja laporan dari UNDP (Amich Alhumami : 2007) beberapa waktu yang lalu menyebutkan mencari dokter ahli tertentu asal Etiopia di USA jauh lebih mudah dibanding mencari dokter spesialis asal Etiopia di negara Etiopia sendiri. Pada umumnya pelaku brain drain adalah pemuda potensial yang memiliki kemampuan diatas rata rata. Mereka adalah para akademisi, insinyur, ahli komputer, ahli tekhnologi informasi dan kedirgantaraan, ahli astronomi, dokter dan para ahli lainnya. Masa mudanya dihabiskan untuk berkarya dan melakukan sejumlah research di yang dibiayai oleh negara tujuannya, sehingga hasil karya dan temuannya dipatenkan di luar negeri. Indonesia harus membayar nilai royalti kepada negara asing untuk mengakses temuan anak bangsanya sendiri. Mereka berpikir bahwa minimnya fasilitas yang diberikan oleh negara untuk kepentingan ilmu pengetahuan, minimnya fasilitas dan akses ke dunia internasional serta rendahnya penghargaan terhadap kemampuan dan kapasitas yang mereka miliki. Akhirnya mereka mencari negara yang memungkinkan kemampuan mereka bisa berkembang dan kemampuan yang mereka miliki dihargai dengan lebih baik. Di Indonesia, walaupun hingga saat ini belum terdapat data empiris yang akurat, namun diperkirakan telah mencapai angka 5% pelaku brain drain dari Indonesia. Jumlah ini dapat kita katakan cukup signifikan di tengah terpuruknya SDM Indonesia (Hariyanto : 2008). Tentu kita masih mengingat hengkangnya Arif Budiman, Ariel Heryanto dan beberapa inteletual muda karena tekanan politik dari negara. Dikarenakan tuduhan subversibe dan dianggap seabagai intelektual oposisi di masa orde baru, karir akademis di univesitas swasta di salatiga diberangus melalui interverensi negara. Akhirnya dinegara maju dia malah diterima dan diangkat sebagai visiting professor di perguruan tinggi di Australia. Fenomena Sri Mulyani merupakan fenomena brain drain yang dilakukan oleh elit tekhnokrat yang dimiliki bangsa ini. Terlepas dari kemelut politik dan Skandal Century, Sri Mulyani merupakan ahli ekonomi dan keuangan yang potensial. Terpuruh di negeri sendiri, namun kini dia berkibar di lembaga keuangan internasional. Sebagai bangsa jelas brain drain memposisikan negara yang ditinggalkannya sebagai obyek penderita. Negara yang ditinggalkannya mengalami kerugian karena kehilangan SDM yang penting dalam pengembangan kapasitas masyarakat. Bangsa mengalami kerugian bukan hanya karena perginya individu yang potensial dan berbakat. Namun negara mengalami kerugian material karena sudah mengeluarkan biaya yang tidak sedikit selama mereka tinggal di republik ini. Butuh nilai nominal yang tidak sedikit untuk menghantarkan mereka menjadi tenaga ahli. Sejak dari pendidikan dasar dan menengah selama di Indonesia atau bahkan perguruan tinggi. Siapa yang harus bertanggungjawab atas fenomena yang semakin menguat di Indonesia belakangan ini. Menggungat dan mempertanyakan nasionalisme terhadap pelaku brain drain barangkali bisa dilakukan, meskipun sebenarnya bukan disini pusaran persoalannya. Atas alasan negara telah mengeluarkan sejumlah biaya dan fasilitas dalam proses tumbuh dan berkembangnya seorang ahli tertentu, negara berhak menagih untuk memperoleh reward atau pengembalian dalam bentuk kontribusinya terhadap pembangunan. Meskipun ini sangat tidak tidak proporsional, mempertanyakan nasionalisme bisa saja dilakukan. Akar persoalannya lebih pada kesempatan untuk bisa tumbuh dan berkembang. Pada umumnya anak muda yang memiliki kemampuan lebih sangat peduli terhadap pengembangan kapasitas diri. Logikanya, kalau mereka tidak bisa mendapatkan di negeri sendiri dia akan mencari di negeri lain. Untuk itu barangkali menciptakan kemungkinan untuk berkembang dan mendapatkan fasilitas lebih akan mampu menahan laju brain drain dan pada gilirannya akan mampu menarik kembali ilmuwan muda dan para ahli asal Indonesia untuk kembali dan mengabdikan diri “kerumah sendiri”. India adalah salah satu negara di di Asia yang berhasil menarik para ahlinya yang berserakan di luar negeri. Barangkali yang dilakukan oleh DPP KNPI (bersama PB HMI dan PPI) tahun 2009 yang lalu yaitu pembentukan Ikatan Ilmuwan Indonesia Internasional di Den Haag adalah salah satu langkah kecil untuk “mengikat” dan “menambatkan” ilmuwan Indonesia yang bertalenta agar tetap bersandar di rumah besar bangsa Indonesia. Dengan demikian mereka akan tetap memberikan kontribusi positif dalam pembangunan.

India, pakistan, cina, mengajarkan pada kita tentang kepercayaan diri selaku bangsa dan negara dunia ketiga. India dan Cina berhasil mengubah kondisi brain drain menjadi brain gain di tengah kondisi  brain circulation.
Brain drain, bermakna ilmuan-ilmuan terkemuka (outstanding) negeri sendiri dalam kondisi tersebar di seluruh penjuru bumi ini, terutama tersebar di negara-negara maju, seperti Amerika dan Eropa. Kondisi ini tentu saja sangat tidak diinginkan oleh negara yang bersangkutan karena SDM penting yang ia miliki justru memajukan negara lain, bukan negara asalnya.
Brain gain, bermakna meraih kekuatan ilmuan-ilmuan negeri sendiri yang tersebar di seluruh pelosok bumi dengan cara membangun jaringan yang menghubungkan mereka dan menyatukan pemahaman untuk membangun negeri sendiri. Brain gain policyditerapkan pemerintahan di India dan Cina sehingga efeknya bisa kita saksikan saat ini.
Selain atas dasar kesamaan asal negara, brain gain policy muncul atas dasar pertimbangan fenomena brain circulation yang terjadi di dunia saat ini. Brain circulationberarti sebuah kondisi yang menggambarkan ilmuan dari negara manapun, ras manapun akan mencari tempat di mana ia dapat melakukan penelitian dengan sangat baik. Menyadari hal tersebut, tentu saja dengan kebijakan brain gain, kedua negara di atas bukan hanya meminta orang-orang cerdas di negaranya untuk bersama membangun bangsanya tetapi juga mempersiapkan infrastruktur dan sokongan dana yang cukup untuk menunjang riset mereka.
Kebijakan seperti ini pun diikuti negara-negara lainnya, seperti Iran, Pakistan, Malaysia, dan Brazil.
Contoh kasus yang cukup populer tentang upaya peningkatan kemampuan ilmu dan teknologi suatu bangsa, adalah percakapan antara Presiden Pakistan, Pervez Musharaf dengan Prof. Dr. Atthaur Rahman (ilmuan Kimia terkemuka Pakistan) ketika diminta untuk menjadi menteri pendidikan dalam kabinetnya. Lantas Prof. Atthaur menjawab:“Are you serious on science, Mr. President?”. Musharaf, menjawab: “of course I’m serious!”. Prof. Atthaur kemudian melanjutkan: “if you are serious in science, then follow my policy!”. Presiden kaget mendengar hal tersebut, lantas meminta penjelasa kepada Prof. Atthaur. Ia menjelaskan: “first, government must increase higher education budget this year by 100%, then followed by 50 % every year to come until 5 years. Secondly, government must increase research expenditure by 6000%, and lastly government must pay Pakistani outstanding scientist fiur time higher than cabinet minister!. If you agree with my policy, I’m ready to be a minister!”. Presiden setuju dengan kebijakan ini. Sehingga setelah 5 tahun, kemajuan di bidang ilmu pengetahuan dan industri Pakistan sudah mendekati India.
Kisah ini memberi pelajaran pada kita sebagai berikut:
  1. Seorang ilmuan semestinya tak hanya paham akan ilmu yang ia tekuni tetapi juga harus menyadari mengenai kondisi bangsanya sekalipun itu menyentuh dunia ekonomi dan politik karena ilmu yang dimilikinya sudah semestinya ia baktikan untuk bangsa dan negaranya.
  2. Ketajaman visi, keluasan pengetahuan, dan kepercayaan diri menjadi modal penting untuk mewujudkan negara yang berdaulat seutuhnya, maju di segala bidang, khususnya ilmu pengetahuan dan teknologi.
  3. Right man on the right place menjadi kunci penting dalam positioning SDM untuk memajukan bangsa dan negara.
Oleh  karena itu, rasanya tak salah seandainya kita, Indonesia melakukan hal yang serupa seperti yang dilakukan negara-negara tersebut. Sehingga kita bisa menjadi negara yang benar-benar berdaulat dengan kekuatan ilmu pengetahuan dan teknologi karya putera puteri negeri sendiri. Kita pun kelah akan bangga dengan bangsa kita sendiri dan dapat terlepas dari berpangku tangan  ke negara-negara lain. Semoga kita bisa belajar lebih baik, untuk Indonesia yang lebih baik.
[rahadian]

Menahan arus brain drain
Prof Dr BJ Habibie, mantan Menristek, pakar penerbangan internasional, sekaligus mantan Presiden RI dalam orasi budaya awal 2011 di UMY menyatakan bahwa sebanyak 48 ribu tenaga ahli berbagai bidang dari S2 (master) hingga S3 (doktor) dari berbagai bidang seperti ahli penerbangan, kapal laut, dan bidang science lainnya yang disekolahkan ke luar negeri 15 tahun lalu oleh pemerintah, sejak zaman Presiden Soeharto dan Menristeknya Habibie waktu itu, tidak diketahui lagi keberadaannya. Saat ini, sebagian besar mereka bekerja di beberapa negara Eropa dan Amerika. Indikasi lain dari “waste” nya SDM terbaik Indonesia ditunjukkan oleh data terbaru dari Atase Pendidikan KBRI Malaysia yang mengatakan bahwa ada sekitar 4.000 WNI yang menjadi pengajar dan peneliti kontrak di berbagai Perguruan Tinggi di Malaysia. Kedua data ini menunjukkan fenomena yang popular dengan istilah “brain drain”.
Latar Belakang
Brain Drain Istilah dan problem “brain drain” muncul sejak era tahun 80 an, dan semakin menunjukkan trend peningkatan di era knowledge and information seperti saat ini. Permasalahan ‘Brain Drain’ ini tentunya bukan hanya menjadi problem Indonesia, tetapi juga negara-negara berkembang pada umumnya.William J. Carrington dan Enrica Detragiache (1998). Brain drain menunjukkan bukti adanya perubahan signifikan dari definisi asset perusahaan/organisasi, dimana bila pada tahun 70 an struktur asset perusahaan didominasi oleh tangible asset sebanyak 83 persen, tetapi pada era 2000 an terjadi pegeseran besar komposisi intangible asset mendominasi 80 persen asset perusahaan. Intagible asset inilah yang berupa SDM berpengetahuan tinggi (data S&P 500, 2005) Sejak awal tahun 2000, permasalahan brain drain di Indonesia terjadi secara lebih sistematis melalui banyaknya tawaran beasiswa dari negara-negara maju untuk pelajar Indonesia berprestasi, seperti dari Australian Development Scholarship (Australia), Full Bright (Amerika), British Chevening Awards (Inggris), Deutscher Akademischer Austauschdienst (Jerman) dan beasiswa dari negara-negara lainnya termasuk dari universitas-universitas di Singapore tentunya juga mempunyai andil dalam peningkatan jumlah pelajar Indonesia yang pindah dan menetap di negara pemberi beasiswa setelah kuliah mereka tamat. Saat ini brain drain di Indonesia diperkirakan telah mencapai 5%, suatu angka yang cukup signifikan dan perlu diantisipasi dampaknya kedepan mengingat brain darin berhubungan dengan perpindahan tenaga ahli berpengetahuan tinggi.
Akar Masalah Brain Drain
 Data dari sebuah PTN terkemuka tahun lalu di Indonesia ternyata cukup mencengangkan, dimana dalam 13 tahun belakangan ada 50 orang dosen dan peneliti bergelar S3 (Doktor) mengundurkan diri. Dari sisi ekonomis maupun sosial, maka PT tersebut pada khususnya hingga negara kita pada umumnya akan jelas rugi, karena mencetak satu Doktor saja butuh minimal biaya satu miliar rupiah. Berbagai alasan mengemuka dari kejadian ini, antara lain rendahnya pendapatan dan fasilitas penelitian, minimnya anggaran penelitian, keinginan untuk memperoleh kualifikasi dan pengakuan yang lebih tinggi, ekspektasi karier yang lebih baik, serta diskriminasi dalam hal penentuan jabatan dan promosi. Dari sisi pendapatan misalnya, gaji dasar dosen baru di Luar Negeri mencapai USD 55.000 sampai USD 65.000 per tahun (sementara di Indonesia sekitar USD 2500 – USD 3500). Dosen senior dan Guru Besar bisa menembus USD 85.000 dalam satu tahun (sementara di Indonesia setelah sertifikasi USD 10.000 – USD 15.000). Itu masih belum termasuk fasilitas asuransi kesehatan keluarga, akses internet gratis, dan fasilitas laboratorium yang komplit. Dibandingkan dengan negara tetangga seperti Malaysia kitapun kalah jauh, misalnya seorang dosen ITS yang baru lulus S3 Luar Negeri memilih mengajar di Monash University cabang Malaysia dengan pendapatan per bulan sekitar 25 juta rupiah, sementara di Indonesia gajinya masih berkisar 3,5 juta rupiah. Dari sisi anggaran penelitian, maka nggaran untuk riset dan teknologi (RISTEK) kita hanya 0,18% dari PDB, jauh di bawah standar UNDP yang menetapkan setidaknya 1% dari PDB. Meskipun anggaran pendidikan telah mencapai 20%, tetapi kita harus memaklumi bahwa anggaran pendidikan adalah syarat cukup (order qualifier) dan bersifat expenses, sedangkan syarat menang (order winner) untuk bersaing secara global adalah anggaran RISTEK yang sifatnya investasi.
Solusi Alternatif
Menghadapi tantangan berupa keterbatasan anggaran yang berdampak pada kesejahteraan, maka beberapa alternatif solusi bisa ditawarkan sebagai berikut. Pertama, dibutuhkan kolaborasi riset antara stakeholder segitiga ABG (Akademisi, Bisnis, dan Government), atau yang bila stakeholder Akademisinya diperluas akan menjadi Bisnis, Intelektual, dan Government (biasa disingkat BIG). Alternatif pertama ini mengandung konsekwensi bahwa riset-riset di Universitas haruslah riset yang sesuai dengan nature bisnis, yaitu riset dengan road map inovasi yang jelas dan beberapa riset yang mempunyai kemampuan “jual”. Road map yang dimaksud adalah peta tahapan riset yang dibuat secara tepat output akhir, state of the art, dan daya saing hasil riset tersebut secara ekonomis. Daya saing secara ekonomis perlu ditekankan disini, mengingat bahwa hasil riset haruslah “membumi” penerapannya dalam arti “sangat bisa” (bukan sekedar bisa saja) dirasakan manfaatnya sebagai suatu produk yang bernilai intelektual output bagi masyarakat. Bila dari sisi pengembangan sains yang membutuhkan biaya besar kita belum mampu, maka riset sebaiknya difokuskan pada teknologi terapan yang biayanya lebih murah serta lebih bermanfaat bagi masyarakat, seperti TTG. Untuk mewujudkan spirit ABG atau BIG tersebut, maka kolaborasi dan sinergi antar lembaga penelitian menjadi penting. Artinya, road map penelitian suatu bidang tertentu haruslah melibatkan “grand design” tujuan nasional yang ingin dicapai bersama antara lembaga penelitian di universitas dengan lembaga penelitian di litbang-litbang departemen, hingga litbang bisnis tingkat perusahaan. Grand design tujuan nasional sebaiknya menyelaraskan antara 3 (tiga) pilar pengembangan ekonomi, yaitu Knowledge Based Economic (KBE), Resouces Based Economic (RBE), ditambah Culture Based Economic (CBE) sebagaimana arahan pidato Presiden SBY di ITS pertengahan Desember 2010. Pemilihan strategis bidang dan penyelarasan road map penelitian ini akan berdampak pada efisiensi anggaran negara serta peningkatan mutu dan track record penelitian yang jelas tahapannya. Alternatif kedua adalah mensiasati keterbatasan anggaran dengan mengubah sebagian dana alokasi program menyekolahkan dosen baru ke luar negeri menjadi program mengundang dosen dan peneliti terkemuka dari luar negeri untuk mengajar dan meneliti di Indonesia. Mendatangkan dosen dan peneliti dari luar negeri bisa jadi mahal, tetapi satu orang ahli tersebut dapat dirasakan manfaatnya oleh banyak pihak (dosen dan mahasiswa). Selain itu, dampak “intangiablenya” adalah untuk menciptakan kultur dan atmosfer akademik dan riset yang jauh lebih baik. Kultur dan atmosfer riset yang lebih baik tersebut perlu ditumbuhkan, mengingat bahwa seharusnya keterbatasan dana dan pendapatan bagi peneliti bukanlah alasan utama untuk para peneliti eksodus tanpa manfaat. Cina dan India yang sebenarnya ilmuwannya pendapatannya di dalam negeri rendah, tetapi orang-orang pintar yang exodus itu setelah mereka meraih sukses, maka mereka bikin asosiasi untuk membantu mahasiswa-mahasiswa dari negeri asal mereka untuk sharing ilmu dan dana. Inilah kultur nasionalisme model baru yang harus ditumbuhkan di Indonesia. Model lain dalam mengefisiensikan keterbatasan anggaran riset dan menumbuhkan kultur riset pernah dilakukan Thailand, dimana saat Uni Soviet runtuh awal tahun 90 an, maka ahli-ahli nuklir dan bioteknologi mereka “dibajak” oleh universitas-universitas terkemuka di Thailand unuk mengembangkan riset dibidang bioteknologi dan nuklir. “Pembajakan” ini menyebabkan capaian Thailand dibidang rekayasa bioteknologi dengan aplikasi nuklirnya sangatlah maju hingga ditingkat dunia.
Menahan Arus Brain Drain
Berdasarkan pilihan alternatif diatas, maka untuk menahan arus brain drain sekaligus mengubahnya menjadi menjadi brain gain, maka dibutuhkan peran pemerintah sebagai fasilitator yang aktif antara tiga segitiga stakeholder, yaitu BIG ataupun ABG. Peran sebagai fasilitator tersebut dapat dilakukan dengan memberikan stimulus fiskal bagi penelitian-penelitian yang melibatkan ketiga komponen segitiga, memudahkan pola rekruitment tenaga ahli luar negeri untuk mengajar dan meneliti di Indonesia, serta membentuk klaster penelitian bidang-bidang unggulan secara bersama-sama antara PT yang sudah maju sebagai mentor dengan PT yang sedang menuju maju. Dengan cara demikian, maka sinergi ABG/BIG akan dapat terimplementasikan dengan baik, sehingga PT di Indonesia secara nasional akan mampu naik kelas, dari teaching university menjadi research university, dan dari research university menjadi entrepreneur university sesuai dengan keunggulan lokalnya masing-masing.Semoga (AHN-www.technopeneursociety.com)




Tidak ada komentar:

Posting Komentar